Rabu, 27 Juli 2011

Tinjauan Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan


Tinjauan  Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan


DISUSUN OLEH:
·      Rahmad Gunarto 08/267392/HK/17817



FILSAFAT HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011


a.      Tinjauan dari Segi Hukum
Apabila menilik kasus pencurian biji kakao yang dilakukan oleh Mbok Minah, sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang biasa di dunia penegakan hukum di Indonesia. Ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, dan perkaranya diproses hingga ke tingkat pengadilan , maka sudah semestinya orang tersebut sudah semestinya dipidana.
Berdasarkan tujuan hukum, putusan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah tepat, Karena sesuai asas kepastian hukum, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan terdakwanya masyarakat miskin serta, benar dan salahnya seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan yang terbuka untuk umum, serta hakim telah melihat bukti-bukti yang ada di persidangan bahwa dari bukti tersebut hakim berpandangan bahwa nenek minah terbukti bersalah
Namun dari data yang diperoleh dari berbagai sumber, berdasarkan analisis saya, dalam kasus nenek minah kesalahan terjadi ketika proses penyidikan berlangsung, seharusnya penyidik polri dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas, dan juga kepemilikan tanah perkebunan tersebut masih menjadi sengketa kepemilikan.
Serta dari proses penyidikan sampai dengan proses persidangan  telah terjadi pelanggaran Miranda rules sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Padahal pasal yang disangkakan dan didakwakan adalah pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Dalam penegakan hukum ini telah terjadi pelanggaran hukum, yaitu hak nenek minah untuk didampingi penasihat hukum telah dilanggar. Ibarat dalam peribahasa “mencuci baju kotor dengan air combera”, yang bermakna menegakan hukum dengan melanggar hukum.
b.      Tinjauan Sosiologis :
Jika ditinjau dari sisi sosiologis maka kasus  ini adalah kasus yang tidak layak untuk dilanjutkan dalam proses peradilan, walaupun kenyataannya perbuatan Mbok Minah  telah memenuhi unsur melawan hukum dalam pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman pidana penjara 5 tahun. Secara kemasyarakatan buah kakao yang diambil oleh Mbok Minah yang nilainya tak lebih dari Rp. 2100,00 tidak sebanding dengan proses peradilan yang dijalaninya.  Seharusnya PT. RSA dan pihak kepolisian berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil seperti ini secara kekeluargaan, tidak perlu dilanjutkan ke proses peradilan. Secara kemasyarakatan jika kasus ini ditinjau secara mendalam maka kasus ini tidak memenuhi unsur keadilan dalam masyarakat, Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kasus korupsi yang terkesan prosesnya tebang pilih dan prosesnya terulur-ulur. Mbok minah merupakan seseorang nenek tua yang tidak bisa membaca papan peringatan milik PT. RSA dan juga dia tidak jadi mengambil kakao tersebut (mengembalikan kakao kepada mandor) serta juga telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.  Pandangan masyarakat menyimpulkan bahwa unsur-unsur sosial tersebut merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau pihak penegak hukum untuk melanjutkan proses peradilan terhadap Mbok Minah, walaupun hakim memutuskan hukuman 1 bulan tanpa harus dikurung. Putusan hakim tersebut menunjukkan bahwa perbuatan Mbok Minah salah secara hukum, tapi secara sosiologis hal tersebut tidak menunjukkan keadilan.
Kesimpulan :
Dalam kasus ini memang putusan yang diberikan oleh hakim telah memenuhi unsur  kepastian hukum tetapi belum memenuhi unsur keadilan dan kemanfaatan . Selain hal tersebut hakim juga dilarang untuk menolak perkara.Namun bila ditinjau dari awal proses penyidikan tidak memenuhi rasa keadilan kerena nenek minah bukanlah satu-satunya orang yang mengambil kakao dari kebun tersebut,nenek minah mengatakan bahwa sebelum kasus nenek minah diangkat ke jalur litigasi,memang sudah banyak warga sekitar yang mengambil kakao di kebun tersebut.Hal ini menunjukan bahwa tidak adanya asas equality before the law atau semua orang sama di depan hukum.Dan dalam proses ini juda terdapat indikasi bahwa proses kasus nenek minah terdapat tekanan dari pihak lain kepada pihak penyidik agar memproses kasus ini karena tanah perkebunan yang masih menjadi sengketa antara TNI dengan warga setempat.Memang seharusnya sebuah tindakan yang bertentangan dengan hukum harus diproses demi memberikan efek jera kepada pelaku. hukum.                   
Kasus ini juga telah mencoreng asas kemanfaatan karena biaya kerugian yang di derita  oleh PT.Rumpun Sari Antan (RSA) akibat kehilangan 3 biji kakau tidak sebanding dengan besarnya biaya perkara dan derita finansial yang di derita oleh nenek minah karena dirinya tidak mampu berkerja selama proses perkara berlangsung,sedangkan nenek minah hanyalah wanita tua yang berpenghasilan kecil.Selain itu besar kerugian yang diderita oleh PT.Rumpun Sari Antan (RSA) juga tidak sebanding dengan dampak sosial yang diderita oleh Mbok Minah.
            Apabila di telaah secara sosiologis memang seharusnya kasus pencurian kakau oleh Mbok Minah tidak perlu dibawa ke jalur litigasi.Karena bila melihat sisi sosial dari mbok Minah,kasus tersebut  diselesaikan secara rukun tetangga ataupun bisa juga diganti dengan kewajiban lapor bagi pelaku.Untuk masyarakat seukuran Mbok Minah yang awam dengan bidang hukum,wajib lapor  sudah cukup untuk menimbulkan efek jera.Bila kita lihat dalam prakteknya,banyak perkara yang ancamanya lebih tinggi dari pada yang dilakukan oleh Mbok Minah,namun perkara tidak dilanjutkan ke proses penuntutan dan pemeriksaan,hanya saja pelaku dibebani untuk wajib lapor.Dalam hal ini aparat hukum terlalu berpatokan kepada apa yang tertulis di dalam KUHP.Seharusnya dalam menangani perkara hukum , aparat tak hanya mengeja atau membaca teks KUHP. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani, yang didapat adalah keadilan substansial.Oleh karena itu sejak awl perkara seharusnya polisi dapat melakukan diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.
            Dengan ilmu filsafat hukum yang saya pelajari, kasus ini memang terjadi adanya kepastian hukum, akan tetapi asas kemanfaatan dan keadilan tidak mengena, dan ini yang sering timbul dalam kehidupan hukum di Indonesia. Terkadang aparat kita sering tebang pilih, kasus korupsi yang merupakan kasus berat yang sangat penting untuk diperoleh untuk kepastian hukum di Indonesia malah tidak diproses. Suatu realita yang sangat menyedihkan dan segera harus dirubah.

Tidak ada komentar: