Rabu, 27 Juli 2011

PENGANGKATAN HAKIM AGUNG PASCA AMANDEMEN UUD 1945



KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunianya hingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Pengangkatan Hakim Agung Pasca Amandemen UUD 1945. Ucapan terima kasih tulus penulis ucapkan pada Bapak Sardjuki S.H,.M.Hum. selaku dosen pembimbing dan pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian paper ini.
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah konsentrasi Hubungan Legislatif dan Eksekutif  yang diampu oleh Bapak Bapak Sardjuki S.H,.M.Hum. Tema yang diambil adalah mengenai Pengangkatan Hakim Agung Pasca Amandemen UUD 1945.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih memiliki banyak kekurangan di berbagai tempat. Oleh Karena itu, penulis amat mengharap kritik dan saran agar dapat memperbaiki kekurangan yang terjadi pada makalah ini pada kesempatan berikutnya.
Semoga makalah  ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan .

19 Juli 2011

Rahmad Gunarto

DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………..1
Daftar Isi……………………………………………………………………...…2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1.Rumusan Masalah………….……………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
1. Lahirnya Komisi Yudisial....................................................................................5
2. Mekanisme dan syarat pengangkatan Hakim Agung di Indonesia.....................7

BAB III PENUTUP
1.  Saran………………………………….....................………………………….10
Daftar Pustaka………………………………………………….......……………11





PENDAHULUAN
Amandemen UUD 1945 yang terjadi sebanyak empat kali pada tahun 1999 hingga tahun 2002 yang lalu memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua buah institusi baru diperkenalkan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di samping Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam dua tahapan, yaitu pada amandemen ke-3 yang terjadi pada tahun 2001 dan amandemen ke-4 yang terjadi pada tahun 2002. Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga buah ketentuan berubah secara drastis menjadi 19 buah ketentuan.
Namun perubahan ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman saat ini dirasakan tidak berdampak banyak perubahan kondisi peradilan, khususnya badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. Secara umum tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, kecuali terhadap Mahkamah konstitusi, harus diakui masih cukup rendah, bahkan tampaknya tidak ada perubahan sebelum atau sesudah terjadi amandemen atas bab Kekuasaan Kehakiman tersebut[1]. Keberadaan Komisi Yudisial yang menurut pasal 24B memiliki fungsi mengusulkan calon Hakim Agung serta wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, suatu institusi yang awalnya diharapkan dapat membantu merubah kondisi peradilan Indonesia, tampaknya tak banyak membantu, setidaknya yang terlihat hingga saat ini.
Yang cukup menarik untuk dicermati adalah amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 seakan tidak menyinggung sama sekali perubahan besar yang sedang terjadi di bidang peradilan yang telah dimulai sejak 1999. Perubahan besar tersebut yaitu dimulainya sistem satu atap (one roof system), yaitu dialihkannya fungsi-fungsi administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah ke tangan Mahkamah Agung. Selain penyatuan atap yang telah ditetapkan dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perubahan lainnya yang terjadi pada tahun 1999 yaitu dengan diterbitkannya UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU No. 43 Tahun 1999 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa hakim termasuk sebagai Pejabat Negara.
Dengan dialihkannya kewenangan administratif, organisatoris dan finansial dari Pemerintah ke Mahkamah Agung serta ditetapkannya Hakim sebagai Pejabat Negara yang menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Agung? Apakah kewenangan-kewenangan tersebut terbatas pada kewenangan pengelolaan semata atau termasuk juga kewenangan pengaturan? Sebagai contoh, kewenangan pengaturan mengenai kepegawaian Hakim berada di tangan siapa? Apakah Mahkamah Agung atau Presiden? Atau mungkin DPR? Faktanya saat ini hakim masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang mana berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 dinyatakan bahwa kebijakan manajemen PNS yang meliputi penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, peningkatan kualitas, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak dan kewajiban dan kedudukan hukum berada pada Presiden selaku kepala pemerintahan (pasal 13 UU No. 43/1999). Menariknya, walaupun UU No. 43/1999 itu sendiri juga menyatakan secara tegas bahwa hakim termasuk dalam kategori Pejabat Negara, namun peraturan-peraturan pelaksana seperti Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim diatur dalam PP No. 41 Tahun 2002 dimana di dalamnya sistem jabatan, golongan dan kepangkatan yang diatur adalah sistem yang berlaku bagi PNS pada umumnya. Begitu juga halnya dengan pengaturan mengenai sistem penggajian hakim, disiplin dan lain sebagainya. Dengan permasalahan demikian, maka timbul cita-cita untuk membentuk Komisi Yudisial sebagai tugas utama pengawasan hakim.

1.1  Rumusan Masalah
1.  Lahirnya Komisi Yudisial
2.   Mekanisme dan syarat pengangkatan Hakim Agung di Indonesia

Pembahasan
1.        Lahirnya Komisi Yudisial
Satu-satunya ketentuan dalam konstitusi yang pada awalnya dipandang dapat memiliki peran yang cukup besar dalam mendorong perubahan di wilayah peradilan, yaitu keberadaan Komisi Yudisial, dalam kenyataannya ternyata juga tidak dapat berperan banyak. Bahkan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial saat ini, yaitu kewenangan pengawasan terhadap hakim telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 005/PUU-IV/2006. Dibatalkannya kewenangan tersebut merupakan akibat dari ketidakjelasan pengaturan mengenai hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang menimbulkan 'konflik' antara kedua lembaga tersebut yang cukup intens pada akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006 yang lalu.
Salah satu sumber masalah tersebut menurut penulis justru terletak pada konstitusi itu sendiri, khususnya pasal 24B yang hanya menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Apakah wewenang-wewenang lain itu? Tidak jelas. Yang jelas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disusun dalam periode legislatif yang sama dengan penyusun konstitusi hanya mengartikan wewenang-wewenang lain tersebut adalah wewenang untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada hakim. Sementara itu Mahkamah Konstitusi setidaknya telah menafsirkan bahwa kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan...dst tersebut seharusnya tidak diartikan semata-mata sebagai pengawasan (putusan MK hal. 185).
Komisi yudisial yang lahir melalui amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 24B, merupakan lembaga negara yang mandiri serta mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Walalupun komisi yudisial bukanlah penyelenggara kekuasaan kehakiman, namun KY memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa.
Beberapa ketentuan yang menjadi dasar hukum Komisi Yudisial adalah :
1. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen :
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
2. Pasal 24B UUD 1945 :
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim
3. UU No. 4 Tahun 2004 :
Pasal 34 ayat (1) : Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi yudisial yang diatur dengan Undang – Undang.
Pasal 34 ayat (3) : Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Udang – Undang.
Berdasarkan dasar hukum tersebut, maka kewenangan Komisi Yudisial meliputi :
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung.
2.Menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
3. Memberi penghargaan kepada hakim yang berprestasi
            Gagasan pembentukna komisiYudisial ini merupakan jawaban atas ketidaefektifan sistem pengawasan internal (fungsional) yang telah built-in dalam aneka institusi penegak hukum. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.      Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai
2.      Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan
3.      Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya
4.      Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan
Membenahi pengawasan fungsional berarti memberikan solusi terhadap keempat permasaahan itu[2]
2.         Mekanisme dan syarat pengangkatan Hakim Agung di Indonesia
 Prosedur diangkatnya hakim agung [3]:
Komisi Yudisial mempunyai tugas: 
a..melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; 
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; 
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan 
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. 
Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka  waktu paling lambat 6 ( enam) bulan sebelum berakhimya jabatan tersebut. 
Pelaksanaan tugas dilakukan dalam jangka  waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan  dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung. Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran  penerimaan calon Hakim Agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.  Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial.  Pengajuan calon Hakim Agung dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon .
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima  belas) hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung.    Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah  memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. 
Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman
 Komisi Yudisial melakukan  penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3 ) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir. 
 Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan.   Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan.   Karya ilmiah sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana  Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam  jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.  Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi , Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon  Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden
DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam  jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon. Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR.  Dalam hal jangka waktu dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial .














PENUTUP
Saran:
1.      DPR dan DPD harus sama-sama bisa memberikan persetujuan dalam penentuan hakim Agung di masa depan.
2.      Komisi Yudisial sebenarnya sudah mempunyai payung hukum yang kuat atas keberadaannya, yaitu di dalam UUD 1945 pasal 24 dan dalam UU no 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, akan tetapi kinerja Komisi Yudisial terkesan kurang maksimal sehingga terkesan tidak sesuai dengan cita-cita dibentuknya Komisi Yudisial sebagai pengawas kinerja Hakim.
3.       Ke depan perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan demikian seluruh hakim akan diawasi oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim  itu sendiri. Dengan kata lain, ke depan tugas mengawasi hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung Maupun Hakim Kostitusi. Hasil pengawasan KY direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti. Dewan kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak setelah rekomendasi KY.[4]




Daftar Pustaka
UUD 1945
UU No. 43 Tahun 1999
PP No. 41 Tahun 2002
UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Kartasasmita, Ginandjar, DPD dan Penguatan Demokrasi
Asshidiqie, Jimly,2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 , UII Pres, Jakarta
Jurdi, Fajlurraman, 2007, Komisi Yudisial daei Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Grafindo, Jakarta










KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM




TUGAS MATA KULIAH KONSENTRASI
HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF
PENGANGKATAN HAKIM AGUNG PASCA AMANDEMEN UUD 1945


Oleh                                      :  Rahmad Gunarto 08/267392/HK/17817




YOGYAKARTA
2011



[1] www.leip.or.id, diakses tangga 4 juni 2011 pukul 11.21
[2] Kompas:2 maret 2003, Mas achmad Sentosa
[3] Republik Indonesia, UU no 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
[4] Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Grafindo, Jakarta hal. 275

1 komentar:

eadindaines mengatakan...

Hard Rock Hotel & Casino Las Vegas - Mapyro
Welcome to a world 창원 출장샵 at play! Play online or 양산 출장샵 in-person 대전광역 출장샵 at Hard Rock Hotel & Casino 서산 출장안마 Las Vegas. Complete casino information including 충주 출장마사지 address, telephone number,