Kamis, 26 Januari 2012

ini soal kekuasaan kehakiman, tahun 2010 sama 2011 sama lho coy, sangat berguna beud


Jumat, 20 Januari 2012

KEJAGUNG



Pendahuluan
Hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah ”kejaksaan”, yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan.  Istilah ”jaksa” atau ”kejaksaan” sebagai institusi dalam bahasa Indonesia tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara ”attorney general” dengan ”public prosecutor”. Istilah pertama diartikan sebagai ”jaksa agung” dalam bahasa Indonesia, sedang yang kedua diartikan sebagai ”penuntut umum”. Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara ”officer van justitie” untuk istilah ”jaksa” dan ”openbaar aanklager” untuk ”penuntut umum”. Sementara dalam Bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah ”peguam negara” untuk jaksa, dan ”pendakwa raya” untuk ”penuntut umum”, yang kesemuanya berada di bawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:
a.         Mempertahankan segala peraturan Negara
b.         Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c.         Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

1.      Apa saja kewenangan kejaksaan
2.      Bagaimana struktur organisasi kejaksaan dan kedudukan Jaksa Agung ?



PEMBAHASAN
1.      Kewenangan Kejaksaan
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Bahwa eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari:
  1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
  2. Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
  3. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dengan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan Kejaksaan adalah berkurangnya eksistensi kewenangan jaksa selaku Dominus Litis yang berlaku universal disebabkan masih adanya tumpang-tindih dan kerancuan hukum yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan sehingga mengabaikan asas Dominus Litis tersebut.
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1)   Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.                   Melakukan penuntutan;
b.                  Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.                   Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
d.                  Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.                   Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)   Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah
(3)   Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a.                   Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.                  Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.                   Pengamanan peredaran barang cetakan;
d.                  Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e.                   Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.                   Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Kewenangan Kejaksaan yang lain diatur dalam Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 35,36,37, tugas dan wewenang Jaksa Agung meliputi :
1.        Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.
2.        Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang, mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
3.        Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung  dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam  pemeriksaan kasasi perkara pidana.
4.        Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.        Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.
6.        Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.


3.      Bagaimana struktur organisasi kejaksaan dan kedudukan Jaksa Agung ?
Tidak ada satu katapun dalam UUD 1945 menyinggung Kejaksaan. Mengenai posisi kejaksaan apakah masuk kekuasaan eksekutif atau yudikatif terjawab oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Dari pasal itu Kejaksaan tidak termasuk kekuasaan yudikatif, meski menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Selain itu, Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan dapat ditafsirkan bahwa kedudukan Kejaksaan berada dalam kekuasaan eksekutif khususnya dalam bidang yustisial (penuntutan).
Mengacu pada UU 16 tahun 2004, maka  pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Pasal tersebut dinilai susah untuk dilaksanakan mengingat kedudukan Kejaksaan berada di bawah Presiden atau Eksekutif sedangkan pasal tersebut menuntut Kejaksaan untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Bagaimana mungkin Kejaksaan yang secara struktural berada di bawah Presiden bisa lepas dari pengaruh Presiden itu sendiri.
Pada titik ini, terdapat persoalan yang bersifat anomali ketika dihadapkan pada kenyataan yang ada di berbagai negara bahwa pucuk pimpinan kejaksaan, yakni jaksa agung, merupakan bagian dari kabinet (eksekutif) yang dipimpin oleh kepala pemerintahan. Di satu sisi, Jaksa Agung sebagai penegak hukum dituntut untuk bekerja dengan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan tunduk pada aturan normatif hukum, tetapi di sisi lain jaksa agung merupakan jabatan yang bersifat politis karena pengangkatannya merupakan hak prerogratif dari Presiden.
Mengenai kedudukan Jaksa Agung menurut M. Fajrul Falaakh, S.H., M.H. yang termuat dalam putusan MK no 49/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa mengenai kedudukan Jaksa Agung, dengan jelas Undang-Undang menentukan bahwa Jaksa Agung itu sekarang adalah pejabat negara dan dilarang merangkap jabatan negara lainnya. Dengan demikian, Jaksa Agung bukan Menteri. Penyebutan kedudukan setingkat Menteri itu cuma kaitannya dengan penggajian dan lain-lain.
            Mengenai pengangkatannya terdapat pada pasal 19 UU no 16 tahun 2004  Jaksa Agung  diangkat  oleh Presiden sedangkan  pemberhentian dari jabatnnya karena :
a.       meninggal dunia;
b.      permintaan sendiri;
c.       sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d.      berakhir masa jabatannya;
e.       tidak lagi memenuhi salah satu syarat pada pasal 21 karena merangkap jabatan
Mengenai pasal 22 ayat 1 huruf d UU no 16 tahun 2004 yang dianggap oleh MK yang menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”. Putusan ini yang menyebabkan berakhirnya masa jabatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung digantikan oleh Basrief Arief (26 November 2010 s/d Sekarang)

Mahfud menegaskan, masa jabatan Hendarman Supandji sebenarnya sudah berakhir sejak masa jabatan Presiden berakhir. Dilain pihak, Mahfud juga menegaskan, meski tidak dilantik kembali, jabatan Jaksa Agung yang diemban Hendarman sebelum putusan MK adalah sah lantaran putusan MK tidak berlaku surut






KESIMPULAN
Secara organisasi, personil dan keuangan institusi ini berada di bawah Kementerian Kehakiman, namun secara fungsional, lembaga ini bekerja dalam penyelenggaraan badan-badan peradilan, sehingga Jaksa Agung disebut sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya di Negeri Belanda, maupun di Indonesia sebagaimana ditunjukkan Jaksa Agung Soeprapto, institusi ini dapat bekerja secara mandiri dan independen, tidak tunduk pada pengaruh kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Faktor individu, rupanya mempengaruhi efektifikas sebuah sistem ketika dia berjalan dalam kenyataan. Pada semua negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensial, khususnya di Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan semata-mata  menjalankan tugas sebagai penuntut umum (Public Prosecutor). Tugas melakukan penyidikan atas perkara-perkara pidana dilakukan oleh badan yang terpisah, yakni Federal Bureau of Investigation dan National Bureau of Investigation. Namun kedua institusi ini sama-sama berada di bawah Department of Justice. Jadi, di Amerika dan Philipina yang menganut sistem Presidensial itu, Kejaksaan berada dalam ranah eksekutif, bukan ranah yudikatif. Di negara kita, yang juga menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, dalam tiga Undang-Undang tentang Kejaksaan  yang pernah ada (UU No 15 Tahun 1961; UU No 5 Tahun 1991 dan UU No 16 Tahun 2004), semuanya mengatur bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, yang juga berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Tugas utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, di manapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan kita mempunyai tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pengawasan yang lazim dikategorikan sebagai tindakan ekskutif. Sejak Kejaksaan sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri. 
Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Karena dia berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang  menjadi anggota kabinet, maka praktik ketatanegaraan menunjukkan kepada kita bahwa masa jabatan  Jaksa Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya. Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI
Bahwa pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:
  1. Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan.
  2. Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
  3. Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi.
Eksistensi Kejaksaan RI dalam melaksanakan supremasi di bidang penuntutan sehubungan dengan sistem peradilan pidana terpadu yang diatur menurut KUHAP pada kenyataannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dalam praktek masih sering terjadi koordinasi antara Kejaksaan dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan dengan Pengadilan tidak berjalan dengan lancar karena berbagai alasan yang bersifat birokratis ataupun arogansi institusional, sehingga akan berpengaruh terhadap proses penuntutan.

Kejaksaan, KPK dan Kepolisian merupakan lembaga yang bertanggung jawab pada salah satu tugas penuntutan (public prosecution) dan penyelidikan serta penyidikan perkara pidana (criminal proceeding). Oleh karena itu, tugas-tugas kejaksaan dan tugas-tugas kepolisian perlu diatur sedemikian rupa, sehingga tercipta suasana sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), di mana masing-masing tugas dapat terkordinasi demi kepentingan penegakan hukum secara sistematik, bukan kepentingan instansional. Tugas polisi sebagai criminal investigation perlu dipisahkan dengan tugas kejaksaan sebagai public prosecution dan criminal proceeding[1]






DAFTAR PUSTAKA
Putusan MK no 49/PUU-VIII/2010


[1] Bambang Poernomo, “Kejaksaan Melaksanakan Tugas Bagian Kekuasaan Negara”, (makalah disampaikan dalam “Dengar Pendapat Publik ‘Pembaruan Kejaksaan Republik Indonesia’”, diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, di Hotel Sahid, Jakarta, 24-25 Juni 2003), hal. 3.

KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA




KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM


KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas:
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Disusun oleh :
Nama                           : Rahmad Gunarto
NIM                            : 08/267392/HK/17817




YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunianya hingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Kewenangan Mahkamah Agung dan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung Republik Indonesia. Ucapan terima kasih tulus penulis ucapkan pada Bapak Fajrul Falakh S.H,.M.A.,M.Sc. selaku dosen pembimbing dan pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian paper ini.
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah konsentrasi Kekuasaan kehakiman  yang diampu oleh Bapak Fajrul Falakh S.H,.M.A.,M.Sc. .Tema yang diambil adalah mengenai Mahkamah Agung.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih memiliki banyak kekurangan di berbagai tempat. Oleh Karena itu, penulis amat mengharap kritik dan saran agar dapat memperbaiki kekurangan yang terjadi pada makalah ini pada kesempatan berikutnya.
Semoga makalah  ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan .

19 November 2011

Rahmad Gunarto







Pendahuluan

Amandemen UUD 1945 yang terjadi sebanyak empat kali pada tahun 1999 hingga tahun 2002 yang lalu memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua buah institusi baru diperkenalkan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di samping Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam dua tahapan, yaitu pada amandemen ke-3 yang terjadi pada tahun 2001 dan amandemen ke-4 yang terjadi pada tahun 2002. Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga buah ketentuan berubah secara drastis menjadi 19 buah ketentuan.
Namun perubahan ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman saat ini dirasakan tidak berdampak banyak perubahan kondisi peradilan, khususnya badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. Secara umum tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, kecuali terhadap Mahkamah konstitusi, harus diakui masih cukup rendah, bahkan tampaknya tidak ada perubahan sebelum atau sesudah terjadi amandemen atas bab Kekuasaan Kehakiman tersebut[1]. Keberadaan Komisi Yudisial yang menurut pasal 24B memiliki fungsi mengusulkan calon Hakim Agung serta wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, suatu institusi yang awalnya diharapkan dapat membantu merubah kondisi peradilan Indonesia, tampaknya tak banyak membantu, setidaknya yang terlihat hingga saat ini.
Yang cukup menarik untuk dicermati adalah amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 seakan tidak menyinggung sama sekali perubahan besar yang sedang terjadi di bidang peradilan yang telah dimulai sejak 1999. Perubahan besar tersebut yaitu dimulainya sistem satu atap (one roof system), yaitu dialihkannya fungsi-fungsi administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah ke tangan Mahkamah Agung.

Rumusan Masalah    :
1. Kewenangan Mahkamah Agung
2. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung

Pembahasan

1. Kewenangan Mahkamah Agung
Pengertian Mahkamah Agung menurut Ketentuan umum/ Pasal 1 UU no 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman  yaitu Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan  kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Beberapa kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan dalam UU no 48 Tahun 2009, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
·         Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan peradilan bersama mahkamah Konstitusi dengan tugas dan kewenangan masing-masing yang berbeda. Pasal 18 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan peradilan bersama mahkamah Konstitusi dengan tugas masing-masing yang berbeda.
Pasal 25 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman
            Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi melaksanakan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Mahkamah Agung  membawahi suatu Pengadilan Khusus sesuai dengan pasal  27 UU no 48 tahun 2009
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di ingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.[2]
Pasal 39 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.
·         Berdasarkan pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman
            Mahkamah Agung berwenang:
1.       mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
2.       menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
3.       kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
·         Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan tempat pengajuan PK
Pasal 22 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
1.      Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.
2.      Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
Dalam pasal tersebut Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
·         Pimpinan Mahkamah Agung bersama pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat suatu hal yang bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan sidang. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.”
·         Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal Pemberian Grasi dan Rehabilitasi. Sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
(1)  Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
·         Peran Mahkamah Agung dalam pengajuan Hakim Konstitusi. Pasal 34 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.
            Dalam hal ini Mahkamah Agung berhak untuk mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi

Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung
1. Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung sebelum reformasi, dan setelah reformas, dengan amandemen UUD 1945.Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, Namun secara birokrasi MA telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya dan sangat dimungkinkan pengaruh dari eksekutif
Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali dengan diadakanya forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Angung dan Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dab Depatrtemen dalam membicarakan daftar kandidat hakim agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung da Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah Angung berinisiatif memberikan nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Namun dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam proposal.
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat presentasi,  biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalya dengan memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini terkait denga lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi hangat dibicarakan. “Reformasi ekonomi”, “reformasi struktural”, dan “reformasi politik” menjadi bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus,  hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu[3] dan diantaranya reformasi dalam bidang hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan  menjadi 7 (tujuh), yaitu[4] :
1.      kajian dan forum ilmiah;
2.      perancangan peraturan;
3.      implementasi peraturan;
4.      pelatihan hukum
5.      advokasi dan kesadaran masyarakat;
6.      lembaga hukum; dan
7.      penyusunan rencana.
Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk amandemen UUD Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen, mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :
 “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”
Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan.
Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR sebagai pemberi persetujuan atau penolakan, dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan ‘fit and proper test’ dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang dicalonkan oleh Komisi Yudusial. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk menyetujui atau menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm) yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik yang dipandang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan oleh DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan klegislatif berupa  tindakan implementasi UU, penjabaran pengaturan UU dalam peraturan pelaksanaan yang lebih operasional, dan dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-wenang oleh Presiden.
Dengan demikian, calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup sebanyak yang diperlukan, yang apabila tidak mendapat persetujuan, barulah diajukan lagi alternatif calon penggantinya. Artinya, mekanisme yang ditempuh untuk pengusulan ini sama dengan yang berlaku terhadap calon Kepala POLRI dan calon Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan dari DPR. Setelah DPR menyatakan persetujuannya, barulah calon Hakim Agung itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik di Istana dengan disaksikan oleh Presiden. Dengan demikian, pengangkatan Hakim Agung melibatkan semua fungsi kekuasaan yang terpisah, yaitu Komisi Yudisial sebagai lembaga administratif, DPR sebagai cabang kekuasaan legislative, dan Presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif.
Profesi secara umum dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidangkeilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.
Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang  diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.[5] Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi  tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.[6]
Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung tersebut juga berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan, dan juga dalam pemberhentian Hakim Agung. Bagaimanapun juga, pengakuan akan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence of judiciary) sebagai Negara Hukum modern harus lah diimbangi dengan penerapan prinsip akuntabilitas publik1. Karena itu, fungsi partisipasi publik dipandang penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY sebagai lembaga teknis yang bersifat administratif.
Cara perekrutan hakim Mahkamah Agung dapat disebut multi-voters model karena melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan peran Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya menerbitkan keputusan pengangkatan hakim agung. KY mengimbangi Presiden dan DPR meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Sebagai lembaga teknis administrasi, KY harus dijamin independen dari campur tangan politik dari pemerintah ataupun dari lembaga politik kekuasaan legislative. Bahkan sebaiknya, KY juga diamankan dari keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh politik lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, Komisi Yudisial benar-benar dapat bertindak sebagai lembaga antara yang kritis dan objektif, semata-mata untuk mencapai kehormatan, kepercayaan dan martabat hakim dan lembaga peradilan. Karena dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
2. Pemberhentian Hakim Agung
Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR sebagaimana mestinya. Apabila DPR menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan menolak usul pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya.
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim.[7]
Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan DPR, maka Komisi Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif dengan Keputusan Presiden. Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang.
Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan “merangkap jabatan” antara lain:
a.       wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;
b.      pengusaha; dan
c.       advokat.
Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.[8]
Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat
pelanggarannya, yaitu:
a.       Teguran tertulis;
b.      Pemberhentian sementara; atau
c.       Pemberhentian.

Manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka pasal 22  ayat (4) menegaskan: “Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim terlapor, atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan itu dapat diberikan secara lisan dan/atau tertulis” (penjelasan pasal 22 ayat 4).
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut, Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta (Pasal 22 ayat 5).
Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau  hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua keterangan dan data ini  bersifat rahasia (pasal 22 ayat 7). Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial.
Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya, bersifat mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3). Untuk hakim yang dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi  kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim  (pasal 23 ayat 4). Dalam hal pembelaan ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan  oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada presiden paling  lambat 14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan (pasal 23 ayat 5).
Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu  paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung (pasal 23 ayat ) Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim  pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah  Agung;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi  kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh  Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan  Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut :
1.      Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap  penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
2.      Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan  Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan  terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau  bentuk lainnya, serta tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari pengawasan;
Kesimpulan
Wewenang Mahkamah Agung sangat banyak,tidak hanya mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain,menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.seperti yang tercantum pada pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga meliputi Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang[9], Pimpinan Mahkamah Agung bersama pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat suatu hal yang bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan sidang[10], Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal Pemberian Grasi dan Rehabilitasi[11], Mahkamah Agung berhak untuk mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi[12] dan Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman[13]
Mengenai Perekrutan Hakim Agung, perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan demikian seluruh hakim akan diawasi oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim  itu sendiri. Dengan kata lain, ke depan tugas mengawasi hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung Maupun Hakim Kostitusi. Hasil pengawasan KY direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti. Dewan kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak setelah rekomendasi KY.[14]


























Daftar Pustaka
UU no 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
UU no 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1995, hlm. 32.
Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”, Hukum dan Pembangunan,
Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm. 124-125.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.



[1] www.leip.or.id, diakses tangga 4 November 2011 pukul 11.21
[2] Penjelasan pasal  27 UU no 48 tahun 2009
[3] Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”, Hukum dan Pembangunan,
Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm. 124-125.
[4] Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.
[5] E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1995, hlm. 32.
[6] ibid., hlm. 33-34.
[7] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 42.
[8] Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman

[9] Pasal 22 UU  48 tahun 200 tentang Kekuasaan Kehakiman
[10] Pasal 9 ayat 2 UU  48 tahun 200 tentang Kekuasaan Kehakiman
[11] Pasal 14 ayat 1 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[12] Pasal 34 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[13] Pasal 39 UU  48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[14] Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Grafindo, Jakarta hal. 275