Jumat, 20 Januari 2012

KEDUDUKAN DPD SEBAGAI DI PARLEMEN



Sinopsis
Pola Hubungan Legislatif Berubah
JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah empat kali perubahan UUD 1945 sejak 1999 hingga 2002, pola hubungan legislatif-eksekutif pun mengalami perubahan ketika MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara diposisikan sebagai lembaga tinggi yang mewadahi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Hal itu mengemuka dalam sosialisasi urgensi perubahan kelima UUD 1945 di Jakarta, Rabu (9/11/2011). Tampil sebagai pembicara Ketua Kelompok DPD MPR Bambang Soeroso dan Direktur Utama Perum LKBN Antara Ahmad Muklis Yusuf.
DPD merupakan lembaga baru hasil dari perubahan ketiga UUD 1945 yang dibentuk untuk memberi keseimbangan terhadap DPR dengan basis perwakilan daerah. Sebagai lembaga penyeimbang, kehadiran DPD diharapkan dapat mengawal pelaksanaan otonomi daerah dan mampu menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kesejahteraan daerah yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Dengan demikian, gagasan membentuk DPD bertujuan untuk meningkatkan derajat keterwakilan daerah sehingga diharapkan DPD mampu mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan daerah dalam kebijakan dan regulasi pada tataran nasional. Artinya, kehadiran DPD sebagai kamar kedua di parlemen sangat penting dan strategis dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia guna mewujudkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi.
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/09/11011731/Pola.Hubungan.LegislatifEksekutif.Berubah diakses pada pukul 15.56  hari Senin tanggal 28-11-2011


Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Kedudukan DPD di parlemen sebagai legislator?
ANALISIS
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui amandemen ketiga (perubahan ketiga) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Setidaknya ada 2 (dua) kritik atas struktur MPR pada sebelum perubahan.[1]Pertama, permasalahan representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak 1000 orang(sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang  (sebelumnya 400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota  MPR (anggota MPR/DPR) dan sisanya merupakan anggota MPR yang  bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan Utusan  Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu:
1.      anggota MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Penjelasan tentang struktur MPR menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan MPR diperluas  dengan hadirnya utusan daerah dan golongan, di samping anggota DPR  itu sendiri.
2.      Permasalahan kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut  yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme checks and balances. Peran  lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota  MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan  sebagai legislatif karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun.
Penghapusan utusan golongan tersebut menurut Bagir Manan lebih  didorong oleh kepentingan pragmatik daripada konseptual. Pertama, tidak  mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya  mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan  yang mengangkat.[2]
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Bikameral atau Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Dalam proses pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah,  secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk  hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata  bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar negara (60%) disebut sebagai Senat.[3]
Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral. Maka keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia. Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan keberadaan DPD.
Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini kita tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Dari segi keanggotaan antara dewan tinggi dan dewan rendah yang  dalam konteks Indonesia adalah DPR dan DPD haruslah ada pembedaan.  Hal ini penting untuk menghindari pengertian keterwakilan ganda (double representation) dalam mengartikan fungsi parlemen yang dijalankah oleh  kedua dewan tersebut. Menurut Jimly Asshiddiqie[4] untuk membedakan keanggotaan DPR dan DPD, dapat ditentukan adanya tiga kemungkinan  formula;
1.      masa jabatan anggotanya dapat dibedakan, DPD dapat  ditentukan lebih lama daripada masa jabatan DPR,
2.      jika kita ingin  meniru Prancis dan Amerika Serikat, jabatan DPD sebagai institusi dapat  ditentukan enam tahun, tetapi setiap tiga tahun diadakan pergantian  melalui pemilihan umum lagi
3.      keanggotaan DPD itu tidak  dipilih secara langsung melalui pemilu seperti halnya anggota DPR,  melainkan - misalnya - dipilih saja oleh DPRD di tiap-tiap provinsi, dari  calon-calon yang diajukan oleh DPRD kabupaten/kota.
Setidaknya bagi Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Indonesia menggunakan Bikameral.[5]
1.      Seperti diuraikan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme check and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.
2.      Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah.
3.      Wakil daerah menjadi bagian dari pelaksanaan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari integrasi.
4.      Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang
Struktur kelembagaan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen
 
 

Sistem bikameral yang beraneka ragam itu tercermin juga dalam cara pemilihan dan status keanggotaannya[6] :
1.      Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah. Maka acapkali dikatakan bahwa majelis rendah mencerminkan dimensi popular (penduduk) sedangkan majelis tinggi mencerminkan dimensi teritorial (Tsebelis dan Money ibid). Namun ada pula negara yang menerapkan azas keterwakilan berdasarkan keturunan, dan kelompok sosial, seperti agama, budaya dan bahasa, kelompok ekonomi, serta kelompok minoritas, yang dalam sistem yang menganut satu majelis, kepentingan-kepentingan tersebut dapat tenggelam karena tidak cukup terwakili.
2.      Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam.
3.      Checks and balances , Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson dan Mughan 1999)
2.  Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD
Walaupun secara kelembagaan DPD telah memberikan corak  tersendiri atas model perwakilan Indonesia, namun keterbatasan  kewenangan dan tugas yang dipunyainya telah menimbulkan  kepincangan sistem check and balances yang ingin dibangun, khususnya  antara DPD dan DPR. Kekerdilan daripada DPD tersirat dalam pasal  22D tentang kewenangan DPD yang sama sekali tidak memberikan hak  eksekusi, tetapi sebatas pertimbangan saja.
Meskipun sejak awal fungsi legislasi dan pengawasan telah diupayakan oleh DPD, namun pelaksanaan tugas itu menjadi lebih mantap dengan makin mantapnya organisasi dan tata kerja DPD. Dalam waktu yang relatif singkat itu, dengan keterbatasan kewenangan, anggaran dan personel, yang selama ini “menumpang” pada anggaran dan personel MPR, kiranya telah cukup banyak yang dihasilkan.
Meski tingkat legitimasi kedua dewan sama karena berasal  dari proses electoral (pasal 22C dan pasal 22E perubahan ketiga UUD  1945) kesenjangan kuantitatif dipastikan akan berdampak pada minimnya  tingkat pengaruh DPD terhadap proses agregasi pembuatan keputusan.[7]
Sesuai dengan konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait sebagaimana berikut ini.
Fungsi DPD (pasal 223  UU no 27 tahun 2009)
1.      Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah ( Fungsi Legislasi)
2.      Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ( Fungsi Legislasi)
3.      pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Fungsi Pertimbangan)
4.      pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. (Fungsi Pengawasan)
Tugas dan wewenang (pasal 224 UU no 27 tahun 2009)
DPD mempunyai tugas dan wewenang:
1.      dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (legislasi)
2.      ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang (legislasi)
3.      memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (legislasi)
4.      Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,  pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; (Pengawasan)
5.      menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; (Pengawasan)
6.      menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; (Pengawasan)
7.       memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pertimbangan)
8.      ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan  daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (Pertimbangan)
Hak DPD (pasal 231 UU no 27 tahun 2009)
1.      mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2.      ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3.      memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
4.      melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Secara Teknis didapati mekanisme sebagai berikut[8] :
1.      DPD menyusun rancangan undang-undang
2.      Rancangan undang-undang diajukan kepada DPR
3.      DPR akan memutuskan apakah rancangan undang-undang tersebut diterima atau tidak diterima, atau diterima dengan perubahan
4.       Rancangan undang-undang yang diterima DPR dengan atau tanpa perubahan diajukan kepada Pemerintah untuk dibahas
5.      Pembahasan dilakukan DPR bersama Pemerintah




Kesimpulan
Kedudukan DPD di parlemen kalah kuat dibandingkan dengan DPR. Keberadaan DPD ternyata belum mewakili keberadaan lembaga tersebut karena masih banyak kelemahan dikarenakan sifatnya yang Soft Representation , yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 pasal 43 ayat 1 mengatakan bahwa rancangan Undang-Undang hanya berasal dari Pemerintah dan DPR. DPD sama sekali tidak disejajarkan dengan pemerintah dan DPR dalam hal penyusunan Undang-Undang. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 pasal 43 ayat 2 menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dapat berasal dari DPD yang pada intinya kedudukan DPD seakan-akan berada di bawah DPR  dan sifatnya hanya berupa usulan atau pertimbangan yang kelak bisa saja ditolak oleh DPR. Usulan dan pertimbangan itu juga hanya berupa berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Indonesia adalah satusatunya negara dengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah.
Saran
Untuk meningkatkan efektivitas dan pemberdayaan DPD dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, amandemen kelima memang sangat dibutuhkan untuk memperkuat kedudukan DPD agar menjadi strong bicameral ,namun menurut penulis ada beberapa prinsip yang kiranya perlu menjadi pegangan:
1.      Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR.
2.      Kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang sekarang sudah tercantum dalam UUD dan UU no. 27 tahun 2009  dan itupun tetap bersama (share) dengan DPR (tidak mengambil alih).
3.      Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara, seperti yang telah berlaku di negara-negara lain, mulai dari hak menolak (veto), mengembalikan ke DPR atau hanya menunda.
4.      Namun dalam hal kewenangan pengawasan (oversight) DPD harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar supaya pengawasan tersebut bisa efektif. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dengan DPR dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antara kedua lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan DPD lebih terfokus di daerah dan DPR di pusat.
5.      DPD juga diberi hak yang sama dengan DPR, seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.



















Daftar pusaka

UUD 1945
UU no. 27 Tahun 2009  Tentang Majelis permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakila Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU no 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
www.ginandjar.com
Patterson, Samuel C, & Anthony Mughan. 1999. Senates: Bicameralism in the
Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus.
Bagir Manan ,Lembaga Kepresidenan ,Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta,1999
Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Ketiga, FH  UII Press, Yogyakarta, 2005
Bivitri Susanti, “Fungsi dan Peran Ideal Dewan Perwakilan Daerah”, www.sarwono.net,   terakhir diakses, (11 November 2011 )
Ginanjar Kartasasmita, “Bikameralisme di Indonesia”, http:// www.ginandjar.com
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005






KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM




TUGAS MATA KULAH KONSENTRASI HUKUM DAN POLITIK
KEDUDUKAN DPD SEBAGAI DI PARLEMEN

Oleh                            :  Rahmad Gunarto 08/267392/HK/17817


YOGYAKARTA
2011



[1] Bivitri Susanti, “Fungsi dan Peran Ideal Dewan Perwakilan Daerah”, www.sarwono.net,   terakhir diakses, (11 November 2011 )
[2] Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Ketiga, FH  UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 81.
[3] Ginanjar Kartasasmita, “Bikamerisme di Indonesia”, http:// www.ginandjar.com., hlm. 2-3, (terakhir diakses 28 November 2011).
[4] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm, 167.
[5] Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitusi, Ctk. Kedua, FH UII Press, Yogyakarta,
2004, hlm 60.
[6] www.ginandjar.com, diakses tanggal 11 November 2011 pukul 12.00
[7] Agus Haryadi, “Bikameral Setengah Hati”, Kompas, (15 Mei 2002), hal. 4.
[8]Bagir Manan ,DPR,DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru ,FH UII Pres, Yogyakarta,2004, hal 69

Tidak ada komentar: