Jumat, 20 Januari 2012

PERAN DPR DAN DPD SEBAGAI ANGGOTA MPR DAN PERAN MAHKAMAH KOSTITUSI DALAM PROSES IMPEACHMENT



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah . Puji syukur kepada Allah SWT atas karunianya hingga Penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Peran DPR dan DPD Sebagai Anggota MPR dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment. Ucapan terima kasih tulus penulis ucapkan pada Bapak Andi Sandi Ant.T.T.,S.H.,LL.M.  selaku dosen pembimbing dan pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian paper ini.
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah konsentrasi Lembaga Kepresidenan  yang diampu oleh Bapak Andi Sandi Ant.T.T.,S.H.,LL.M. Tema yang diambil adalah mengenai Pemberhentian Presiden.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih memiliki banyak kekurangan di berbagai tempat. Oleh Karena itu, penulis amat mengharap kritik dan saran agar dapat memperbaiki kekurangan yang terjadi pada makalah ini pada kesempatan berikutnya.
Semoga makalah  ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan .

Yogyakarta,03 Januari 2011


Rahmad Gunarto







DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………...............……......…………………..1
Daftar Isi…………………………………………………......................…………………...…2
Pernyataan Keaslian Penelitian/Karya Tulis..............................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
A.      LATAR BELAKANG.........................................................................................................4
B.       RUMUSAN MASALAH....................................................................................................7
C.       METODE PENELTIAN.....................................................................................................7

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................9
A.      PERAN DPR DAN DPD SEBAGAI ANGGOTA MPR DAN DALAM PROSES IMPEACHMENT.............................................................................................................. 9
B.       PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES IMPEACHMENT .............15

BAB III PENUTUP
A.  KESIMPULAN..................................................................................................................17
B.  SARAN………………………………….....................…………………………..............18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………….......……………...................19








PERNYATAAN




Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                                                   : Rahmad Gunarto
No.Mahasiswa                                                : 08/267392/HK/17817
Alamat                                                :Sambirejo KG II no 17 RT 02 RW 01 Prenggan kotagede yogyakarta
 Dengan ini menyatakan bahwa penelitian/karya tulis ini benar-benar merupakan karya asli dari peneliti yang berbeda dengan penelitian yang ada sebelumnya dan belum pernah digunakan untuk keperluan akademis. Jika di kemudian hari ternyata penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan tersebut di atas, saya bersedia mempertanggungjawabkannya dengan menerima sanksi akademik dari Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta,03 Januari 2012


                                                                                           Rahmad Gunarto












BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Kekuasaan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan (executice heavy) memang tampak sangat luas dan tidak dijelaskan secara terperinci dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945[1]. Presiden memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar[2], berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR[3], dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya[4]. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat[5]. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.[6]
Di Indonesia, jabatan Wakil Presiden dalam struktur ketatanegaraan hanya difungsikan sebagai “ban serep” belaka. Artinya, Wakil Presiden tidak mempunyai posisi strategis dalam struktur ketatanegaraan dan hanya menjadi pengganti dari Presiden belaka. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.[7] Apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannyan dalam masa jabatannya. ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya[8]. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat[9]. Kenapa harus dipilih berpasangan? Kata kuncinya ada dalam kata “dibantu”, artinya dalam rangka Wakil presiden membantu Presiden ketika Presiden tidak dapat melaksanakan fungsinya, agar legitimate, maka Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden[10].
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi[11].
Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti  berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya.[12]
UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada pengaturan mengenai prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan namun dalam praktek yang terjadi, ada dua presiden yang diberhentikan di tengan masa jabatannya yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Landasan hukum yang digunakan pada waktu itu adalah penjelasan UUD 1945 dan juga Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/ atau antar Lembaga – Lembaga Tinggi Negara.
Mudahnya impeachment presiden di bawah UUD 1945 sebelum amandemen mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet dapat jatuh setiap waktu yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan. Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.
Doktrin yang dianut oleh UUD 1945 setelah mengalami perubahan adalah supremasi konstitusi di mana konstitusi menjadi suatu institusi tertinggi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa tidak seperti dalam UUD 1945 yang lama, MPR dalam hal ini tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat.[13]
Dalam Pasal 8 UUD 1945 dikatakan bahwa :
Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden.[14]
Berdasarkan isi pasal tersebut dapat dinalisa terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi pertimbangan terjadinya penggantian Presiden yakni:
1.      Mangkat atau meninggal,
2.      Berhenti
3.      dan tidak dapat menjalankan kewajibannya.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, ketentuan-ketentuan mengenai impeachment yang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi yang tepat terhadapnya.
Dengan adanya prinsip checks and balances maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Setelah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat mengalami reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara, dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak kepada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain, yaitu:
1.      Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan eksekutif negara.
2.      MPR yang terdiri atas DPR dan DPD sebagai kekuasaan legislatif negara.
3.      Kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Ketiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga MPR merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan MA dan MK dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum.
Penulis memilih judul Peran DPR dan DPD sebagai anggota MPR dan peran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment ini untuk mempelajari sejauh mana peran lembaga negara tersebut berpengaruh terhadap proses impeachment.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Bagaimana peran DPR dan DPD sebagai anggota dari MPR dalam proses impeachment?
2.         Bagaimana peran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment?

C.      METODE PENELTIAN
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 42-43).
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang juga dapat disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sedangkan disebut sebagai penelitian kepustakaan disebabkan
penelitian dalam penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Di sisi lain, penelitian ini lebih banyak difokuskan pada studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti. Lebih rinci, penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode studi dokumen. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian, seperti: peraturan perundang-undangan, buku, dan artikel benar-benar dijadikan dasar pijakan dalam penyusunan penelitian.
            Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan hukum yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sudah pernah berlaku. Sementara bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bahan-bahan hukum primer. Dalam penelitian ini pengolahan dari data yang didapat dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif. Pendekatan analisis deskriptif kualitatif dilakukan melalui pengkalisifikasian objek berdasarkan kategori tertentu[15].
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1.         Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan  mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan, Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara ,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
2.         Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan  bahan hukum primer seperti; buku-buku, artikel, pendapat pakar  hukum maupun makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini.






BAB II
PEMBAHASAN
A.      PERAN DPR DAN DPD SEBAGAI ANGGOTA MPR DAN DALAM PROSES IMPEACHMENT
Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden  dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Apabila DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada MK.
Mengenai 3 alasan yang terdapat dalam pasal 8 UUD 1945 juga masih terdapat berbagai pendapat. Alasan yang pertama yakni apabila seorang Presiden mangkat atau meninggal, ia akan digantikan oleh Wakil Presiden. Mengenai alasan ini sudah jelas, seseorang yang dinyatakan mangkat atau meninggal secara umum sudah dapat dimengerti karena meninggal merupakan suatu keadaan alamiah. Meninggalnya seseorang memang merupakan peristiwa hukum, sebagaimana diketahui dalam teori, pristiwa hukum dapat dibagi atas dua hal yakni ada yang merupakan perbuatan subyek hukum dan ada yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum. Meninggalnya sesorang merupakan peristiwa hukum yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum atau suatu keadaan tertentu.[16]
Alasan yang kedua jika seorang Presiden berhenti. Pengertian berhenti mengandung konotasi atas kemauan sendiri bukan dipaksakan. Jika dilihat pendapat Jimly Asshidiqqie pengertian berhenti jika dikaitkan dengan berhentinya Presiden Soeharto dapat diartikan sebagai tindakan atau pernyataan mengundurkan diri sepihak karena alasan-alasan yang dapat dipertanggug jawabkan.[17]
Sedangakan yang ketiga jika seorang Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya maka ia diganti oleh Wakil Presiden. Mengenai pengertian tidak dapat melakukan kewajibannya menimbulkan suatu permasalahan, apa yang membuat seorang Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya. Dalam Penjelasan UUD 1945 tidak terdapat apa yang dimaksud dengan tidak dapat melakukan kewajibannya. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak dapat melakukan kewajibannya mengandung pengertian[18] :
1.      Jika Presiden karena suatu sebab mengajukan permintaan berhenti/mengundurkan diri kepada MPR. Jadi dasar hukum pemberhentiannya dari jabatan Presiden adalah Presiden tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya.
2.      Jika Presiden dalam suatu keadaan kesehatan atau keadaan lainnya yang sedemikian rupa, sehingga atas dasar pertimbangan atau penilaiaan Dokter atau pihak yang berkompeten yang dapat bertanggung jawab secara hukum keadaan tidak dapat dipulihkan kembali.
3.      Jika terjadi perubahan dalam kemampuan Presiden untuk melaksanakan kewajibannya.
Alasan tidak dapat melasanakan kewajibannya pada beberapa negara merupakan salah satu alasan dari pemberhentian Presiden dalam arti luas. Tetapi, walaupun termasuk dalam alasan pemberhentian Presiden bukan merupakan pendakwaan terhadap presiden hanya merupakan penggantian Presiden. Memang pada alasan Presiden tidak dapat melasanakan kewajibannya diperlukan pembuktian terhadap presiden, tetapi pembuktian tersebut bukan merupakan pendakwaan Presiden, seperti yang terjadi apabila presiden melanggar hukum .
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Pasal 8 UUD 1945 tidak mengatur pemberhentian Presiden. Pasal 8 UUD 1945 hanya mengatur penggantian presiden, yakni hal terjadinya kekosongan jabatan Presiden, dengan asumsi bahwa apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden pada masa jabatannya diganti dengan Wakil Presiden dengan alasan seperti yang dijelaskan di atas.
Pemberhentian Presiden tidak hanya dapat terjadi karena alasan pidana tetapi dapat pula terjadi karena alasan tatanegara. Jika di lihat konstitusi beberapa negara tersebut, pelanggaran tatanegara (Violations of Constitutions) merupakan alasan terjadinya impeachment berarti impeachmen tidak selalu identik dengan alasan pidana tetapi juga tataneg ara. Oleh karenanya, menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan yang dianut dalam Penjelasan UUD 1945 dan ketentuan impeachment sama-sama merupakan prosedur pemanggilan persidangan parlemen yang terkait dengan dakwaan yang dilakukan oleh kepala pemerintahan. Hanya saja, proses penilaian (judgment) yang mendasari pemangilan berbeda. Jadi dapatlah dikatakan bahwa pelanggaran tatanegara dapat pula dijadikan alasan pemberhentian Presiden seperti yang diatur dalam Penjelasan UUD 1945.
Banyak dimensi-dimensi berpikir yang melingkupi arti tanggungjawab dan pertanggungjawaban, termasuk didalamnya hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis. Oleh karena itu, timbul kesulitan untuk memberi suatu batasan yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Hal terpenting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia[19].
Minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.
Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.
Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.
Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.
Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Tahap kedua berada di tangan MK.  Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR. MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman pemecatan (op straffe van ontslag).[20]

Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan tersebut. Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI)
Di Indonesia, lembaga negara yang mengakomodasi impeachment menurut UUD NRI 1945 adalah DPR, MK, dan MPR. Namun jika ditelaah lebih dalam, masih ada lembaga negara yang sebenarnya memiliki peran dalam impeachment yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). DPD sebagai kamar perwakilan rakyat dalam kekuasaan legislatif negara memiliki wewenang yang jauh di bawah/lebih lemah dari DPR, padahal kedudukan DPR dan DPD dalam konstitusi seimbang. DPD memiliki peran dalam hal menyetujui untuk diselenggarakannya sidang istimewa MPR dan memberikan suara terhadap penentuan berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden setelah proses impeachment dilakukan di DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak dapat terbentuk apalagi untuk menyelenggarakan sidang istimewa. MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[21] Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai sejauh mana peran DPD dalam proses impeachment ini?
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan lembaga yang tersendiri di samping fungsinya sebagai rumah penjelmaan rakyat yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah harus dibedakan hakikatnya dan prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota kedua dewan itu. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berdiri sendiri, di samping terdiri atas kedua lembaga perwakilan itu menyebabkan struktur parlemen Indonesia, terdiri atas tiga pilar yaitu MPR, DPR dan DPD (trikameral) yang sama-sama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Presiden dan pelaksana kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. (Jimmly Asshiddiqie, 2005:86-90)
DPR melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, termasuk segala tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. Namun apabila DPR menganggap Presiden telah melanggar Haluan Negara, maka sesuai Pasal 7 ayat 2 Tap MPR No.III/MPR/1978, DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa apabila dalam waktu 3 bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. Apabila dalam waktu 1 bulan memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan oleh Presiden, maka sesuai dengan ayat 4 pasal yang sama, DPR dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Permasalahan baru yang muncul sebagaimana penulis kemukakan dalam pembahasan rumusan masalah yang pertama pada penulisan hukum ini, bahwa sebenarnya lembaga negara yang mengakomodasi impeachment tidak hanya DPR, MK, dan MPR tetapi juga DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang harus diberikan wewenang oleh konstitusi. DPD memiliki peran untuk menyetujui pendapat DPR untuk diselenggarakan Sidang Istimewa MPR. Peran DPD yang menurut penulis sangat penting ialah ketika diambil suara mayoritas yakni 2/3 suara dari ¾ anggota MPR yang hadir dalam Sidang Istimewa. Kita tahu bahwa MPR merupakan lembaga negara yang secara normatif berdiri sendiri sejajar dengan DPR dan DPD, namun dalam kesehariannya MPR tidak melakukan tugas apapun karena anggota MPR ada jika anggota DPR dan DPR bergabung untuk menyelangarakan sidang.
Apabila Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membenarkan pendapat DPR tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam waktu tiga puluh hari sejak menerima usulan tersebut, MPR harus menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memutuskan memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden atau tidak. Kedua, implikasi yuridis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah terjadinya penguatan sistem presidensiil serta adanya kewajiban bagi MK untuk menilai pendapat DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden tersebut.
Dalam pengambilan keputusan di tingkat MPR ini, anggota DPD memiliki otoritas untuk menyetujui atau tidak bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya. Jika anggota DPD yang tergabung dalam Rapat Paripurna tidak menyetujui, maka pendapat DPR dapat dimentahkan dan proses impeachment gagal untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil presiden dari jabatannya.

B.       PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES IMPEACHMENT
Tahapan kedua proses impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu :
1.             Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat.
2.             Amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.
3.             Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[22]
Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.




BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.         Sebagai legislator, Peran DPR mendominasi, khususnya dalam proses impeachment ini.Namun sebaliknya,peran DPD hanya memiliki otoritas untuk menyetujui atau tidak bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya.. Kedudukan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menjadi alasan yang kuat untuk diberikan wewenang yang seimbang dengan DPR dalam mekanisme impeachment. Anggota DPD yang berasal dari kalangan non-partai politik yang diambil dari 33 (tiga puluh tiga) propinsi di Indonesia setidaknya dapat menjadi penyeimbang bagi DPR yang di dalamnya sarat akan kepentingan masing-masing partai politik maupun koalisi. Sistem pemerintahan presidensiil yang dianut oleh Indonesia membawa tanggung jawab moril yang besar terhadap pertanggungjawaban Presiden kepada lembaga legislatif negara. Sejak amandemen UUD 1945, tugas pokok dan fungsi DPD dalam konstitusi memang sangat terbatas jika dibandingkan dengan DPR yang secara struktur ketatanegaraan sejajar kedudukannya. DPR dapat menyatakan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat di-impeachment karena telah memenuhi rumusan Pasal 7A UUD 1945 amandemen. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa DPR berfungsi dalam hal penuntutan sebagai pihak yang menuntut (prosecutor) impeachment. Kemudian DPD seharusnya diberikan wewenang yang strategis pula ketika berfungsi dalam sidang MPR. Dalam artian bahwa DPD tidak hanya harus menyetujui diadakannya Sidang MPR untuk penentuan putusan impeachment saja, tetapi perlu penambahan kewenangan lain.
2.         Dalam hal ini putusan MK tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, akan tetapi dikembalikan ke MPR untuk ditindaklanjuti, mirip dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang kekuatan eksekutorialnya dikembalikan ke pejabat terkait. Ketika Putusan MK ini dikembalikan ke MPR maka bukan mengenai hukum lagi, tetapi politik yang berbicara.





B.       SARAN
1.         Seharusnya DPD diberikan wewenang yang sama kuat dengan DPR. Sudah saatnya kewenangan DPD ditingkatkan, baik dalam hal pengawasan eksekutif maupun dalam hal insiatif yang berakhir impeachment, tidak seperti saat ini yang masih disebut soft bicameral.
2.         Menurut pendapat penulis, alangkah baiknya jika hanya 2 langkah saja, yaitu pertama dari DPR, kemudian diajukan di MK , diputus dan kemudian langsung eksekusi, atau tidak perlu dikembalikan lagi ke MPR, karena kalau dikembalikan lagi ke MPR akan bernuansa politik. MPR bersidang hanya untuk menindaklanjuti putusannya saja, seperti mengangkat Wakil Presiden yang Presidennya telah berhasil di-Impeachment. Jadi hanya bersifat ceremony saja.
3.         Perubahan diatas tentunya harus dawal dengan amandemen UUD 1945 dengan perluasan enguatan peran DPD terutama dalam hal hak pengawasan dan membuat putusan MK ada kekuatan eksekutorial.

























DAFTAR PUSTAKA
UUD 1945 Republik Indonesia
Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI
Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Bagir Manan, 2006, Lembaga Kepresidenan, Edisi Revisi, Yogyakarta, FH UII Press
DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru / H. Bagir Manan. -- Yogyakarta : FH. UII Press, 2004
Lembaga Kepresidenan / H. Bagir Manan  Editor ; Ni' matul Huda. -- Yogyakarta : FH UII Press, 2006
Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,  sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Jakarta: Konstitusi Press, 2005
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002
Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden”,  Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Cet. 2, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999
Ismail Suny dalam Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981
Afifi, 2009, Penulisan Hukum Implikasi Sistem Multipartai Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, FH UGM, Yogyakarta
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia ,Jakarta: Gema Insani Press, 1996


KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM



PERAN DPR DAN DPD SEBAGAI ANGGOTA MPR DAN PERAN MAHKAMAH KOSTITUSI DALAM PROSES IMPEACHMENT


DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS
LEMBAGA KEPRESIDENAN


Disusun oleh :
Nama                           : Rahmad Gunarto
NIM                            : 08/267392/HK/17817



YOGYAKARTA
2011


[1] Bagir Manan, 2006, Lembaga Kepresidenan, Edisi Revisi, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 28
[2] Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
[3] Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
[4] Pasal 5 ayat (2) UUD 1945
[5] Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 
[6] Pasal 7 UUD 1945
[7] Pasal 4 ayat (2) UUD 1945
[8] Pasal 8 ayat (1) UUD 1945
[9] Pasal 6A ayat (1)  UUD 1945
[10] Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 
[11] Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,  sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005. Hal. 5. 
[12] Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 13
[13] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002, hal. 2. 
[14]  UUD 1945 Republik Indonesia, Pasal 8.
[15] Lihat, Afifi, 2009, Penulisan Hukum Implikasi Sistem Multipartai Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, FH UGM, Yogyakarta, hlm. 24.
[16]  Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Cet. 2, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hlm. 50.
[17] Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden” Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000, hlm. 130.
[18] Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden”,  Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000 , hlm. 131-132.
[19] Ismail Suny dalam Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 30-31. 

[20] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 102. 
[21] Pasal 2 ayat (1) 1945.
[22] Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: