Rabu, 27 Juli 2011

Tinjauan Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan


Tinjauan  Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan


DISUSUN OLEH:
·      Rahmad Gunarto 08/267392/HK/17817



FILSAFAT HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011


a.      Tinjauan dari Segi Hukum
Apabila menilik kasus pencurian biji kakao yang dilakukan oleh Mbok Minah, sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang biasa di dunia penegakan hukum di Indonesia. Ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, dan perkaranya diproses hingga ke tingkat pengadilan , maka sudah semestinya orang tersebut sudah semestinya dipidana.
Berdasarkan tujuan hukum, putusan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah tepat, Karena sesuai asas kepastian hukum, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan terdakwanya masyarakat miskin serta, benar dan salahnya seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan yang terbuka untuk umum, serta hakim telah melihat bukti-bukti yang ada di persidangan bahwa dari bukti tersebut hakim berpandangan bahwa nenek minah terbukti bersalah
Namun dari data yang diperoleh dari berbagai sumber, berdasarkan analisis saya, dalam kasus nenek minah kesalahan terjadi ketika proses penyidikan berlangsung, seharusnya penyidik polri dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas, dan juga kepemilikan tanah perkebunan tersebut masih menjadi sengketa kepemilikan.
Serta dari proses penyidikan sampai dengan proses persidangan  telah terjadi pelanggaran Miranda rules sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Padahal pasal yang disangkakan dan didakwakan adalah pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Dalam penegakan hukum ini telah terjadi pelanggaran hukum, yaitu hak nenek minah untuk didampingi penasihat hukum telah dilanggar. Ibarat dalam peribahasa “mencuci baju kotor dengan air combera”, yang bermakna menegakan hukum dengan melanggar hukum.
b.      Tinjauan Sosiologis :
Jika ditinjau dari sisi sosiologis maka kasus  ini adalah kasus yang tidak layak untuk dilanjutkan dalam proses peradilan, walaupun kenyataannya perbuatan Mbok Minah  telah memenuhi unsur melawan hukum dalam pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman pidana penjara 5 tahun. Secara kemasyarakatan buah kakao yang diambil oleh Mbok Minah yang nilainya tak lebih dari Rp. 2100,00 tidak sebanding dengan proses peradilan yang dijalaninya.  Seharusnya PT. RSA dan pihak kepolisian berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil seperti ini secara kekeluargaan, tidak perlu dilanjutkan ke proses peradilan. Secara kemasyarakatan jika kasus ini ditinjau secara mendalam maka kasus ini tidak memenuhi unsur keadilan dalam masyarakat, Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kasus korupsi yang terkesan prosesnya tebang pilih dan prosesnya terulur-ulur. Mbok minah merupakan seseorang nenek tua yang tidak bisa membaca papan peringatan milik PT. RSA dan juga dia tidak jadi mengambil kakao tersebut (mengembalikan kakao kepada mandor) serta juga telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.  Pandangan masyarakat menyimpulkan bahwa unsur-unsur sosial tersebut merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau pihak penegak hukum untuk melanjutkan proses peradilan terhadap Mbok Minah, walaupun hakim memutuskan hukuman 1 bulan tanpa harus dikurung. Putusan hakim tersebut menunjukkan bahwa perbuatan Mbok Minah salah secara hukum, tapi secara sosiologis hal tersebut tidak menunjukkan keadilan.
Kesimpulan :
Dalam kasus ini memang putusan yang diberikan oleh hakim telah memenuhi unsur  kepastian hukum tetapi belum memenuhi unsur keadilan dan kemanfaatan . Selain hal tersebut hakim juga dilarang untuk menolak perkara.Namun bila ditinjau dari awal proses penyidikan tidak memenuhi rasa keadilan kerena nenek minah bukanlah satu-satunya orang yang mengambil kakao dari kebun tersebut,nenek minah mengatakan bahwa sebelum kasus nenek minah diangkat ke jalur litigasi,memang sudah banyak warga sekitar yang mengambil kakao di kebun tersebut.Hal ini menunjukan bahwa tidak adanya asas equality before the law atau semua orang sama di depan hukum.Dan dalam proses ini juda terdapat indikasi bahwa proses kasus nenek minah terdapat tekanan dari pihak lain kepada pihak penyidik agar memproses kasus ini karena tanah perkebunan yang masih menjadi sengketa antara TNI dengan warga setempat.Memang seharusnya sebuah tindakan yang bertentangan dengan hukum harus diproses demi memberikan efek jera kepada pelaku. hukum.                   
Kasus ini juga telah mencoreng asas kemanfaatan karena biaya kerugian yang di derita  oleh PT.Rumpun Sari Antan (RSA) akibat kehilangan 3 biji kakau tidak sebanding dengan besarnya biaya perkara dan derita finansial yang di derita oleh nenek minah karena dirinya tidak mampu berkerja selama proses perkara berlangsung,sedangkan nenek minah hanyalah wanita tua yang berpenghasilan kecil.Selain itu besar kerugian yang diderita oleh PT.Rumpun Sari Antan (RSA) juga tidak sebanding dengan dampak sosial yang diderita oleh Mbok Minah.
            Apabila di telaah secara sosiologis memang seharusnya kasus pencurian kakau oleh Mbok Minah tidak perlu dibawa ke jalur litigasi.Karena bila melihat sisi sosial dari mbok Minah,kasus tersebut  diselesaikan secara rukun tetangga ataupun bisa juga diganti dengan kewajiban lapor bagi pelaku.Untuk masyarakat seukuran Mbok Minah yang awam dengan bidang hukum,wajib lapor  sudah cukup untuk menimbulkan efek jera.Bila kita lihat dalam prakteknya,banyak perkara yang ancamanya lebih tinggi dari pada yang dilakukan oleh Mbok Minah,namun perkara tidak dilanjutkan ke proses penuntutan dan pemeriksaan,hanya saja pelaku dibebani untuk wajib lapor.Dalam hal ini aparat hukum terlalu berpatokan kepada apa yang tertulis di dalam KUHP.Seharusnya dalam menangani perkara hukum , aparat tak hanya mengeja atau membaca teks KUHP. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani, yang didapat adalah keadilan substansial.Oleh karena itu sejak awl perkara seharusnya polisi dapat melakukan diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.
            Dengan ilmu filsafat hukum yang saya pelajari, kasus ini memang terjadi adanya kepastian hukum, akan tetapi asas kemanfaatan dan keadilan tidak mengena, dan ini yang sering timbul dalam kehidupan hukum di Indonesia. Terkadang aparat kita sering tebang pilih, kasus korupsi yang merupakan kasus berat yang sangat penting untuk diperoleh untuk kepastian hukum di Indonesia malah tidak diproses. Suatu realita yang sangat menyedihkan dan segera harus dirubah.

PENGANGKATAN HAKIM AGUNG PASCA AMANDEMEN UUD 1945



KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunianya hingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Pengangkatan Hakim Agung Pasca Amandemen UUD 1945. Ucapan terima kasih tulus penulis ucapkan pada Bapak Sardjuki S.H,.M.Hum. selaku dosen pembimbing dan pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian paper ini.
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah konsentrasi Hubungan Legislatif dan Eksekutif  yang diampu oleh Bapak Bapak Sardjuki S.H,.M.Hum. Tema yang diambil adalah mengenai Pengangkatan Hakim Agung Pasca Amandemen UUD 1945.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih memiliki banyak kekurangan di berbagai tempat. Oleh Karena itu, penulis amat mengharap kritik dan saran agar dapat memperbaiki kekurangan yang terjadi pada makalah ini pada kesempatan berikutnya.
Semoga makalah  ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan .

19 Juli 2011

Rahmad Gunarto

DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………..1
Daftar Isi……………………………………………………………………...…2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1.Rumusan Masalah………….……………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
1. Lahirnya Komisi Yudisial....................................................................................5
2. Mekanisme dan syarat pengangkatan Hakim Agung di Indonesia.....................7

BAB III PENUTUP
1.  Saran………………………………….....................………………………….10
Daftar Pustaka………………………………………………….......……………11





PENDAHULUAN
Amandemen UUD 1945 yang terjadi sebanyak empat kali pada tahun 1999 hingga tahun 2002 yang lalu memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua buah institusi baru diperkenalkan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di samping Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam dua tahapan, yaitu pada amandemen ke-3 yang terjadi pada tahun 2001 dan amandemen ke-4 yang terjadi pada tahun 2002. Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga buah ketentuan berubah secara drastis menjadi 19 buah ketentuan.
Namun perubahan ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman saat ini dirasakan tidak berdampak banyak perubahan kondisi peradilan, khususnya badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. Secara umum tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, kecuali terhadap Mahkamah konstitusi, harus diakui masih cukup rendah, bahkan tampaknya tidak ada perubahan sebelum atau sesudah terjadi amandemen atas bab Kekuasaan Kehakiman tersebut[1]. Keberadaan Komisi Yudisial yang menurut pasal 24B memiliki fungsi mengusulkan calon Hakim Agung serta wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, suatu institusi yang awalnya diharapkan dapat membantu merubah kondisi peradilan Indonesia, tampaknya tak banyak membantu, setidaknya yang terlihat hingga saat ini.
Yang cukup menarik untuk dicermati adalah amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 seakan tidak menyinggung sama sekali perubahan besar yang sedang terjadi di bidang peradilan yang telah dimulai sejak 1999. Perubahan besar tersebut yaitu dimulainya sistem satu atap (one roof system), yaitu dialihkannya fungsi-fungsi administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah ke tangan Mahkamah Agung. Selain penyatuan atap yang telah ditetapkan dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perubahan lainnya yang terjadi pada tahun 1999 yaitu dengan diterbitkannya UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU No. 43 Tahun 1999 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa hakim termasuk sebagai Pejabat Negara.
Dengan dialihkannya kewenangan administratif, organisatoris dan finansial dari Pemerintah ke Mahkamah Agung serta ditetapkannya Hakim sebagai Pejabat Negara yang menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Agung? Apakah kewenangan-kewenangan tersebut terbatas pada kewenangan pengelolaan semata atau termasuk juga kewenangan pengaturan? Sebagai contoh, kewenangan pengaturan mengenai kepegawaian Hakim berada di tangan siapa? Apakah Mahkamah Agung atau Presiden? Atau mungkin DPR? Faktanya saat ini hakim masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang mana berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 dinyatakan bahwa kebijakan manajemen PNS yang meliputi penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, peningkatan kualitas, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak dan kewajiban dan kedudukan hukum berada pada Presiden selaku kepala pemerintahan (pasal 13 UU No. 43/1999). Menariknya, walaupun UU No. 43/1999 itu sendiri juga menyatakan secara tegas bahwa hakim termasuk dalam kategori Pejabat Negara, namun peraturan-peraturan pelaksana seperti Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim diatur dalam PP No. 41 Tahun 2002 dimana di dalamnya sistem jabatan, golongan dan kepangkatan yang diatur adalah sistem yang berlaku bagi PNS pada umumnya. Begitu juga halnya dengan pengaturan mengenai sistem penggajian hakim, disiplin dan lain sebagainya. Dengan permasalahan demikian, maka timbul cita-cita untuk membentuk Komisi Yudisial sebagai tugas utama pengawasan hakim.

1.1  Rumusan Masalah
1.  Lahirnya Komisi Yudisial
2.   Mekanisme dan syarat pengangkatan Hakim Agung di Indonesia

Pembahasan
1.        Lahirnya Komisi Yudisial
Satu-satunya ketentuan dalam konstitusi yang pada awalnya dipandang dapat memiliki peran yang cukup besar dalam mendorong perubahan di wilayah peradilan, yaitu keberadaan Komisi Yudisial, dalam kenyataannya ternyata juga tidak dapat berperan banyak. Bahkan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial saat ini, yaitu kewenangan pengawasan terhadap hakim telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 005/PUU-IV/2006. Dibatalkannya kewenangan tersebut merupakan akibat dari ketidakjelasan pengaturan mengenai hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang menimbulkan 'konflik' antara kedua lembaga tersebut yang cukup intens pada akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006 yang lalu.
Salah satu sumber masalah tersebut menurut penulis justru terletak pada konstitusi itu sendiri, khususnya pasal 24B yang hanya menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Apakah wewenang-wewenang lain itu? Tidak jelas. Yang jelas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disusun dalam periode legislatif yang sama dengan penyusun konstitusi hanya mengartikan wewenang-wewenang lain tersebut adalah wewenang untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada hakim. Sementara itu Mahkamah Konstitusi setidaknya telah menafsirkan bahwa kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan...dst tersebut seharusnya tidak diartikan semata-mata sebagai pengawasan (putusan MK hal. 185).
Komisi yudisial yang lahir melalui amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 24B, merupakan lembaga negara yang mandiri serta mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Walalupun komisi yudisial bukanlah penyelenggara kekuasaan kehakiman, namun KY memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa.
Beberapa ketentuan yang menjadi dasar hukum Komisi Yudisial adalah :
1. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen :
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
2. Pasal 24B UUD 1945 :
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim
3. UU No. 4 Tahun 2004 :
Pasal 34 ayat (1) : Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi yudisial yang diatur dengan Undang – Undang.
Pasal 34 ayat (3) : Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Udang – Undang.
Berdasarkan dasar hukum tersebut, maka kewenangan Komisi Yudisial meliputi :
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung.
2.Menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
3. Memberi penghargaan kepada hakim yang berprestasi
            Gagasan pembentukna komisiYudisial ini merupakan jawaban atas ketidaefektifan sistem pengawasan internal (fungsional) yang telah built-in dalam aneka institusi penegak hukum. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.      Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai
2.      Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan
3.      Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya
4.      Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan
Membenahi pengawasan fungsional berarti memberikan solusi terhadap keempat permasaahan itu[2]
2.         Mekanisme dan syarat pengangkatan Hakim Agung di Indonesia
 Prosedur diangkatnya hakim agung [3]:
Komisi Yudisial mempunyai tugas: 
a..melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; 
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; 
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan 
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. 
Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka  waktu paling lambat 6 ( enam) bulan sebelum berakhimya jabatan tersebut. 
Pelaksanaan tugas dilakukan dalam jangka  waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan  dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung. Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran  penerimaan calon Hakim Agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.  Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial.  Pengajuan calon Hakim Agung dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon .
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima  belas) hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung.    Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah  memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. 
Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman
 Komisi Yudisial melakukan  penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3 ) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir. 
 Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan.   Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan.   Karya ilmiah sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana  Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam  jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.  Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi , Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon  Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden
DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam  jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon. Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR.  Dalam hal jangka waktu dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial .














PENUTUP
Saran:
1.      DPR dan DPD harus sama-sama bisa memberikan persetujuan dalam penentuan hakim Agung di masa depan.
2.      Komisi Yudisial sebenarnya sudah mempunyai payung hukum yang kuat atas keberadaannya, yaitu di dalam UUD 1945 pasal 24 dan dalam UU no 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, akan tetapi kinerja Komisi Yudisial terkesan kurang maksimal sehingga terkesan tidak sesuai dengan cita-cita dibentuknya Komisi Yudisial sebagai pengawas kinerja Hakim.
3.       Ke depan perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan demikian seluruh hakim akan diawasi oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim  itu sendiri. Dengan kata lain, ke depan tugas mengawasi hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung Maupun Hakim Kostitusi. Hasil pengawasan KY direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti. Dewan kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak setelah rekomendasi KY.[4]




Daftar Pustaka
UUD 1945
UU No. 43 Tahun 1999
PP No. 41 Tahun 2002
UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Kartasasmita, Ginandjar, DPD dan Penguatan Demokrasi
Asshidiqie, Jimly,2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 , UII Pres, Jakarta
Jurdi, Fajlurraman, 2007, Komisi Yudisial daei Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Grafindo, Jakarta










KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM




TUGAS MATA KULIAH KONSENTRASI
HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF
PENGANGKATAN HAKIM AGUNG PASCA AMANDEMEN UUD 1945


Oleh                                      :  Rahmad Gunarto 08/267392/HK/17817




YOGYAKARTA
2011



[1] www.leip.or.id, diakses tangga 4 juni 2011 pukul 11.21
[2] Kompas:2 maret 2003, Mas achmad Sentosa
[3] Republik Indonesia, UU no 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
[4] Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Grafindo, Jakarta hal. 275

Perbandingan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Indonesia dengan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Amerika Serikat




Pendahuluan
Pengertian pemilu menurut Sukarna, pemilu adalah suatu alat atau cara untuk memperoleh wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya. Menurut pasal 1 angka 1 UU no 10 tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUDNRI tahun 1945.
Pertanyaan mendasar yang timbul tentang sistem pemilu adalah mengapa perlu diadakan pemilu. Di sini ada 2 teori , yang mengemukakan tentang sistem pemilu. Yang pertama adalah Bottom-Up teori yang dikemukakan oleh Harrold dan Miller. Teori ini menekankan pada agaimana pemilu merupakan suatu penerjemahan akuntabilitas pemerintah terhadap yang diperintah, pemilu akhirnya menentukan siapa yang memerintah dan hasil pemilu berikutnya sangat tergantung pada bagaimana pemerintahan tersebut dijalankan. Yang kedua adalah Top-Down Teori ( Ginsberg). Teori ini fokus utamanya adalah pada proses pemilu sehingga berkesimpulan bahwa “ competitive elections are, in reality, devices for expanding the power of the elite over population” ( Pemilu, pada kenyataannya adalah alat untuk memperbesar kekuasaan para elite terhadap rakyat)
Tingkat kesadaran dan Intelektualnya dalam berdemokrasi di Amerika jauh lebih dewasa dari negara Indonesia. Meskipun ada 50 negara bagian disana tapi hanya ada 2 partai, padahal tidak ada satu aturanpun yang mengatur tentang pembatasan partai. Banyaknya partai hanya menimbulkan kekacauan dan syarat akan terjadinya perpecahan. Di Amerika cara memilihnya pakai Touch Screen On Line sehingga hasilnya bisa langsung terlihat.
Amerika Serikat merupakan negara demokrasi konstitusional dengan sistem three-tier dan institusi kehakiman yang bebas[1]. Negara-negara di Amerika adalah sebuah republik federal yang terdiri dari 50 negara bagian. Kecuali Alaska (utara Kanada) & Hawaii (lautan Pasifik), 48 negara bagian lainnya terletak di Amerika Utara[2]. Terdapat tiga peringkat yaitu nasional, negara bagian dan pemerintahan lokal yang mempunyai badan legislatif serta eksekutif dengan bidang kuasa masing-masing. Negara ini mengunakan sistem persekutuan atau federalisme di mana di negara pusat dan negara bagian berbagi kuasa. Negara pusat berkuasa terhadap beberapa perkara seperti pencetakan mata uang Amerika serta kebijakan pertahanan. Namun, negara-negara bagian berkuasa menentukan hak dan undang-undang masing-masing seperti hak pengguguran bayi dan hukuman maksimal dalam hal undang-undang.Satu elemen yang kentara di Amerika ialah doktrin pembagian kuasa. Pasal 1-3 dalam Konstitusi Amerika, telah diatur secara terperinci mengenai kuasa-kuasa Negara yang utama yaitu eksekutif, legislatif dan kehakiman. Pemeriksaan dan keseimbangan / Checks and Balances merupakan ciri yang utama dalam negara Amerika (hal ini sangat komprehensif). Sehingga tidak ada satu pun cabang negara yang mempunyai kuasa mutlak untuk mewakili cabang yang lain. Sedangkan Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang memiliki 33 provinsi yang masing-masing provinsi memiliki otonomi daerah tersendiri seperti yang diatur dalam UU no 32 tahun 2004 tentang  Pemerintah Daerah.
Model pemerintahannya yang demokrasi presidensiil dan memiliki persyaratan konsensus untuk konstitusi, terdapat pula mekanisme veto di antara lembaga-lembaga negara. Misalnya, presiden Amerika Serikat dapat memveto RUU yang diajukan oleh kongres. Serta adanya kecenderungan sistem kepartaian Amerika Serikat yang berbentuk two-party system. Di samping Pemilu untuk pemilihan presiden, ada pula Pemilu paruh waktu, yang diadakan pada pertengahan masa jabatan presiden. Dalam pemilu ini yang dipilih bukanlah presiden melainkan seluruh anggota Dewan Perwakilan dan sepertiga dari semua senator dari tiap negara bagian. Selain negara bagian, ada satu daerah federal dan ada beberapa daerah yang bisa disebut sebagai daerah jajahan.
Dari keterangan diatas sudah jelas bahwa definisi dari bentuk pemerintahan serikat adalah kekuasaan dan kontrol semua kesejahteraan pemerintah dan administrasi berada ditangan pemerintahan pusat. Pemerintahan pusat bisa membagikan Negara dalam bentuk provinsi, dimana bertujuan untuk keutuhan administratif dengan memberikan wewenang kepada penguasa disetiap propinsi. Propinsi ini tidak mendapat kekuatan dari konstitusi, kekuasaan mereka hanya bergantung pada pemerintahan pusat, dimana bisa dihapuskan atau dikurangi kekuasaan mereka bila diperlukan.Namun berdasarkan sejarah, Amerika Serikat terbentuk dari 13 bekas koloni Inggris selepas Revolusi Amerika setelah deklarasi kemerdekaan pada tanggal 4 Juli 1776[3]. Pada asalnya, struktur politiknya ialah sebuah konfederasi. Tetapi setelah proses konsolidasi yang cukup lama dan terbentuknya konstitusi Amerika, koloni akhirnya sepakat untuk membentuk negara persekutuan. Saat dinyatakannya kemerdekaan Amerika Serikat, tiga belas koloni berubah menjadi negara bagian-negara bagian. Pada mulanya negara bagian-negara bagian ini bergabung sebagai sebuah persekutuan tetapi kemudian membentuk sebuah negara yang bersatu. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah negara bagian bertambah dengan masuknya negara bagian-negara bagian di barat, pembelian tanah dan perpecahan negara bagian-negara bagian yang sudah ada. Setiap negara bagian dibagi kepada counties (semacam kabupaten), cities (semacam kotamadya atau daerah otonomi) dan townships (semacam kecamatan). Amerika juga memiliki negara federal yaitu Washington DC, dan juga memiliki tanah jajahan seperti Puerto Riko, Samoa Amerika, Guam dan Kepulauan Virgin.
Secara garis besar untuk ilmu perbandingan hukum tata negara Indonesia sangat cocok apabila dibandingkan dengan negara Amerika Serikat, karena mempunyai kemiripan jika dilihat dari proses demokrasi yang berjalan dan dalam hal ini masalah yang saya angkat adalah sistem pemilu yang diselenggarakan oleh Indonesia dan Amerika Serikat.
 Pemilu dipandang sebagai tolok ukur demokrasi. Keyakinan kuat pada pemilu sebagai ukuran utama demokrasi didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, pemilu merupakan proses terbaik dibanding, misalnya, sistem karir dan penunjukkan/pengangkatan, untuk menentukan pemimpin politik. Kedua, pemilu memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses bagi aktoraktor baru masuk dalam arena kekuasaan. Ketiga, pemilu memungkinkan partisipasi rakyat untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka.
Tapi keyakinan yang berlebihan terhadap pemilu justru bisa menjadi jebakan yang menyesatkan. Tanpa penghayatan demokrasi dari kalangan politisi, pemilu hanya merupakan sebuah proses “demokrasi berkala” untuk membentuk demokrasi elektoral-formal1: dalam proses itu, rakyat hanya bisa memberikan pilihan (voting) dalam ritual limatahunan. Tanpa terobosan dalam penerapan sistem –dengan segala elemen teknisnya, pemilu hanyalah proyek politik demokrasi elektoral-formal semata-mata yang tidak berimplikasi dan memiliki manfaat bagi rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat yang dimaksud adalah kinerja wakil rakyat di lembaga perwakilan dan eksekutif yang berpihak pada kepentingan rakyat sehingga menjembatani kesenjangan antara politik formal (formal politics) hasil proses elektoral dengan politik sehari-hari (everyday life politics).


Rumusan Masalah
1.      Perbedaan dan Persamaan sistem pemilu presiden dan legislatif Indonesia dengan sistem pemilu presiden dan legislatif AS
2.      Kelemahan dan kelebihan dari sitem pemilu presiden dan legislatif Indonesia dibandingkan dengan sistem pemilu presiden dan legislatif AS








PEMBAHASAN
Persamaan
ž  Sama-sama negara yang majemuk ,negara yang demokrasi menganut kebebasan bersuara (peran pers dan kebebasan berpartai politik)
ž  Pemilu legislatif bersifat langsung (berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 dan amandemen XVII)
ž  Presiden tidak boleh lebih dari 2X masa jabatan (AS melalui amandemen XXII, Indonesia melalui pasal 5 UU no 42 tahun 2008 dan pasal 7 UUD ‘45)

Perbedaan
1.      Masalah waktu pemilihan
Regularly Scheduled Elections[4] atau dalam hal ini Amerika serikat lebih teratur dikarenakan waktu pemilihan Amerika Serikat itu pada waktu yang sama, bahwa pemilihan umum federal diselenggarakan secara terjadwal dan teratur dengan kalender pemilihan yang tetap, yaitu pemungutan suara para pemilih dilakukan pada hari selasa pertama setelah hari senin di bulan November pada tahun-tahun genab pemilihan. Sedangkan kalau dibandingkan dengan Indonesia waktu pemilu Indonesia tidak tetap, ditentukan oleh KPU setelah Panitia KPU terbentuk, dan waktu antara Pemilihan Presiden, DPR, DPD dan DPRD tidak berbarengan.
"Pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat Memakan waktu dua tahun, Pada tahap awal, masing-masing calon membentuk komite khusus. Komite ini bertugas mempelajari peta perpolitikan AS. Selain itu, komite ini bertugas menggalang dana. Setelah itu diadakan pemilihan pendahuluan atau yang disebut dengan primary, tujuannya untuk memilih salah satu calon presiden yang akan diusung oleh partai dalam pemilu nasional. Biasanya selain mengadakan primary, juga diadakan kaukus. Kaukus merupakan semacam pertemuan didaerah pemilihan yang berisi debat tentang isu-isu kampanye. Primary dan Kaukus sama-sama bertujuan untuk memilih kandidat. Bedanya, primary diadakan pemerintah, sedangkan kaukus diadakan oleh kelompok sipil seperti kelompok media, LSM, dan lain-lain. Metode kaukus ini hanya digunakan oleh 12 negara bagian AS. Yakni, Lowa, New Mexico, North Dakota, Maine, Nevada, Hawaii, Minnesota, Kansas, Alaska, Wyoming, Colorado, dan Distict of Colombia.
Setelah masa ini selesai, digelarlah konvensi partai. Tujuannya untuk menetapkan calon presiden. Biasanya, calon presiden yang paling banyak mendapat dukungan dari para anggota pertai, akan terpilih sebagai kandidat presiden. Untuk selanjutnya kandidat masing-masing partai akan bertarung di kancah nasional, untuk merubut suara pemilih. Electoral Collage adalah dewan pemilih. Merekalah yang akan memilih presiden. Jadi, bukan rakyat AS langsung yang memilih calon presiden mereka. Anggota dewan ini dipilih rakyat dalam pemilu AS. Jadi, hari pencoblosan, rakyat akan memilih dua kali. Pertama, untuk memilih calon presiden, dan yang kedua memilih anggota dewan pemilih. Meski rakyat juga mencoblos gambar presiden favoritnya, namun hasil pencoblosan tidak menentukan siapa yang menjadi presiden. Karena yang menentukan adalah anggota dewan pemilih. Meski demikian, biasanya rakyat cuma akan mencoblos gambar anggota dewan pemilih, yang berjanji memilih calon presiden tertentu. Jadi, bisa dibilang, presiden pilihan rakyat dengan pilihan dewan pemilih, nyaris tidak ada bedanya.
Dewan pemilih (elector)  ini bejumlah 538 orang, dan mewakili 50 negara bagian AS. Untuk menjadi presiden AS, seorang kandidat harus memenangkan 270 suara anggota electoral collage. Kalau tidak mencapai suara minimal, otomatis kandidat calon presiden kalah." [5]
Seperti apa sebenarnya seluk-beluk Pemilu di Amerika Serikat? Tahap pertama dimulai antara satu sampai dua tahun sebelum pemilu. Jadi, untuk pemilu 2008 persiapan paling tidak lebih telah dimulai sejak 2006. Dalam masa itu dibentuk komite khusus oleh masing-masing calon untuk mempelajari peta politik dan menggalang dana. Kampanye pemilu presiden AS merupakan salah satu yang termahal di dunia dan menelan biaya antara ratusan juta sampai satu miliar dolar lebih.
2.      Masa jabatan
Untuk pemilu di Indonesia semuanya serentak mempunyai masa jabatan 5 tahun, baik presiden, DPR, DPD  Diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Dan UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kesimpulannya adalah semua jabatan diatas dipilih bersama dengan masa jabatan 5 tahun.
            Sedangkan di Amerika Serikat sendiri menggunakan prinsip Fixed and Staggered Terms[6], bahwa pemilihan diselenggarakan untuk memilih pejabat publik yang akan mengisi jabatan-jabatan tetap maupun tidak tetap yang telah diatur oleh Undang-Undangnya. Masa jabatan Tetap meliputi jabatan DPR ( the representative house )selama dua tahun, Presiden selama empat tahun dan senat selama 6 tahun dan tidak semua jabatan publik diatas dipilih dalam pemilihan yang sama. Dalam pemilihan umum ( General Election) dilakukan pemilihan presiden bersamaan dengan seluruh anggota DPR dan sepertiga anggota senat. Sedang dalam pemilihan masa pertengahan ( terms Elections) yaitu dua tahun setelah pemilihan umum. Untuk pemilihan Presiden sendiri sudah ditentukan, karena masa jabatan Presiden berakhir pada tanggal yang sudah ada dalam konstitusinya, masa jabatan Presideb ditentukan dengan tegas/fixed[7])


3.      Cara pemilihan CAPRES DAN CAWAPRES dari partai
            Ada dua partai yang menentukan sistem politik dan pemerintahan Amerika Serikat, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Dalam setiap pemilu, kedua partai ini saling memperebutkan jabatan-jabatan politik. Amerika Serikat hanya memiliki dua partai besar, padahal tidak ada satupun konstitusi mereka yang membatasi. Hal ini dikarenakan kesadaran politik mereka tinggi. Sedangkan kalau dibandingkan dengan Indonesia, partai di Indonesia terlampau banyak, sampai-sampai kertas suara di Indonesia membengkak, dan malah menimbulkan kesan tidak efektif.
Untuk calon-calon dari partai (ada 2 partai besar disana: Republik dan Demokrat) mereka harus dipilih dalam konvensi. Prosesnya begini, dari satu partai ada beberapa calon. Kemudian setiap negara bagian mengadakan pemilu khusus untuk partai tersebut, misalnya anggota partai republik memilih calon mana yang didukungnya dari partai republik.
Yang diperebutkan dari pemilu awal ini adalah delegate (satuan jumlah suara pemilih, misalnya per 500.000 suara=1 delegate, atau pemenang di satu distrik dianggap mendapat 1 delegate. Tiap negara bagian ini berbeda-beda jumlah delegates nya tergantung besar kecilnya negara bagian tsb. atau jumlah penduduknya.
Diluar itu, untuk partai demokrat, ada lagi yang namanya superdelegate, yaitu perorangan yang suaranya langsung dihitung sebagai satu delegate (kadang malah ada yang satu orang dihitung sebagai 3 delegate, makanya disebut superdelegate), biasanya tokoh partai, pimpinan partai dll. Lalu jumlah delegate dari seluruh pemilu di 50 negara bagian dijumlahkan (plus jumlah superdelegatenya untuk partai demokrat) maka didapat pemenang untuk calon dari partai tersebut.
Sistem penjumlahan ini antara parta republik dan demokrat juga berbeda. Demokrat menghitung jumlah suara yang didapat dari tiap calon walaupun calon tersebut tidak menang, misalnya Obama dapat 10 delegate, Clinton dapat 7 delegate dan Edwards dapat 3 delegate di negara bagian A, Lalu di negara bagian B Obama dapat 9 delegate, clinton dapat 11 dan edwards dapat 4 delegate maka total Obama dapat 19, clinton 18 dan edwards 7
Sedang untuk republik diterapkan sistem winner takes all yaitu sistem sapu bersih, contoh:Negara bagian A memperebutkan 25 delegate, lalu Mccain dapat 16, dan Huckebee dapat 9 maka Mccain sebagai pemenang di negara bagian tersebut mendapat seluruh 25 delegate dan lawannya 0. Dengan sistem ini pemenang bisa lebih cepat didapat
Setelah pemenang didapat maka calon dari partai tersebut disahkan dalam konvensi partai, barulah mereka resmi menjadi calon dari partai tersebut. Setelah itu barulah kampanye dan pemilihan presiden berlangsung. Caranya seperti pemilu biasa, seluruh masyarakat AS memilih calon yang didukungnya. Yang diperebutkan di pemilu ini adalah electoral vote (pengertiannya sama dengan delegate). Cara penghitungannya sama dengan pemilu partai republik yaitu winner takes all. Begitulah prosesnya sampai didapat pemenang pemilu yaitu yang mendapat electoral vote terbanyak.
Di indonesia(UU no 2 tahun 2008) dan AS sama- sama diberi kebebasan dalam pendirian partai politik, tetapi di Indonesia mengenal parliamentary treshold (2,5%)dan electoral treshold. Untuk partai-partai yang tidak memenuhi electoral treshold dapat mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan parpol peserta pemilu sebelumnya yang memenuhi standar electoral treshold dan harus memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta pemilu sebagaimana ditentukan dalam UU.
Perbedaannya adalah masyarakat AS lebih sadar politik, mereka lebih mementingkan kesejahteraan daripada kekuasaan sedangkan di Indonesia para elit politik sangat haus kekuasaan. Di AS hanya ada 2 partai besar yaitu Demokrat dan Republik. Sistem Distrik yang menenggelamkan partai –partai kecil
Sebagian besar dana itu untuk pemasangan iklan dan perjalanan kampanye maraton ke sebanyak mungkin negara bagian yang dapat dikunjungi kandidat. Pemilihan pendahuluan (primary) bertujuan menentukan calon-calon presiden. Primary adalah salah satu cara menominasikan kandidat yang akan dicalonkan dalam pemilu. Penyelenggaraan primary itu sendiri bermula dari gerakan progresif di Amerika Serikat. Primary diselenggarakan oleh pemerintah, selaku penerima mandat partai-partai. Di negara lain, nominasi kandidat biasanya berlangsung secara internal dan tidak melibatkan aparatus publik.
Selain primary, cara lain untuk memilih kandidat adalah melalui kaukus, konvensi dan pertemuan-pertemuan nominasi. Kaukus juga untuk memilih para calon. Namun, kaukus sangat berbeda dengan primary. Kaukus adalah pertemuan di daerah pemilihan dengan diisi debat mengenai platform dan isu kampanye masing-masing partai. Kalau primary digelar oleh pemerintah, kaukus dilaksanakan oleh kelompok sipil, misalnya kelompok media, organisasi nonpemerintah, dan sebagainya.
Bentuk primary mirip pemilihan umum, yakni dengan coblosan, sedangkan pemungutan suara pada kaukus tergantung pada ketentuan masing-masing penyelenggaraan. Hanya 12 negara bagian yang menggunakan model kaukus, yakni Iowa, New Mexico, North Dakota, Maine, Nevada, Hawaii, Minnesota, Kansas, Alaska, Wyoming, Colorado dan District of Columbia.
Istilah ''masa primary'' merujuk pada primary dan juga kaukus, yakni diawali dengan Kaukus Iowa dan berakhir dengan Primary Montana pada 3 Juni. Kemudian, digelar konvensi partai untuk menetapkan calon presiden. Konvensi itu bertujuan meratifikasi hasil pemilihan pada primary dan kaukus.
Delegasi untuk konvensi partai juga dipilih pada primary, kaukus negara bagian, dan konvensi negara bagian. Calon presiden ditentukan berdasarkan perolehan mayoritas delegasi untuk memenangi nominasi partai mereka. Calon presiden itulah yang akan mengajukan calon wakil presiden.
Kalau dibandingkan dengan di Indonesia, Capres itu adalah ketua partai. Dan ketika ada gabungan partai yang hendak berkoalisi, maka ada kontrak politik yang membebani partai penguasa untuk mengabulkan permintaan dari para partai koalisi, semisalnya ketua partai tersebut untuk menduduki kursi menteri dan untuk legislatifnya karena DPR yang menduduki kursinya adalah anggota partai, maka terjadi persaingan politik yang tidak sehat dikarenakan partai koalisi karena sesuai dengan kontrak politiknya harus mengikuti partai yang memenangkan pemilu.
Dan untuk calom wakil presidennya sendiri berdasarkan UU no 42 tahun 2008 tidak ada ketentuan harus berasal dari satu partai politik yang sama dengan partai calon presiden dikarenakan calon wakil presiden ini bisa berasal dari gabungan partai sesuai
4.      Langsung atau tidak langsung
Di Indonesia, sistem proportional representative dengan Daftar Calon Terbuka (DPR, DPRD) dan sistem plurality single district (DPD) hal ini menyebabkan sistem pemilu bersifat terpusat (KPU)
AS, menggunakan sistem plurality single district  . Hal ini yg menyebabkan sistem pemilunya desentralisasi (kewenangan tiap distrik)
Dalam sistem pemilu Amerika Serikat, pilihan rakyat tidak mutlak menentukan kemenangan seorang calon presiden. Pasalnya, AS menggunakan sistem electoral college. Electoral College adalah dewan pemilih yang akan memilih presiden. Anggotanya dipilih oleh rakyat pada hari pemilu. Para utusan itu sudah berjanji di awal untuk memilih kandidat tertentu.

Jumlah utusan pada dewan pemilih itu adalah dua orang ditambah jumlah anggota DPR dari negara bagian tersebut. Sehingga, beberapa negara bagian memiliki jumlah utusan terbanyak, seperti misalnya, Florida, dan menjadi sangat menentukan dalam pemenangan pemilu.
Dengan demikian, pemilihan presiden dan wakil presiden sebenarnya adalah pemilu tidak langsung, karena pemenangnya ditentukan oleh suara para pemilih dalam Electoral College.
Pada hari pencoblosan, rakyat memilih dua kali.
·         Pertama, untuk memilih calon presiden favorit.
·         Kedua, untuk memilih utusan berjumlah 538 yang mewakili 50 negara bagian.
Utusan inilah yang berhak memilih presiden. Jadi, pilihan rakyat hanya berguna untuk menentukan popularitas kandidat.
Apabila belum memenuhi kuorum, Amandemen XII (1804), pemilihan presiden dan wapres dilakukan secara terpisah oleh para elector meskipun pencalonannya satu paket. Apabila belum memenuhi dukungan mayoritas, maka menjadi hak DPR (House of representatif)  untuk memilih Presiden dan Senat memilih wapres
Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 ,Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih  Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
5.      Pengawasan dan Penyelesaian sengketa
Di AS, setiap negara bagian mendapatkan semacam jatah electoral votes yang berbeda jumlahnya sehingga intensitas kampanye dari para kandidat lebih searak dan terfokus pada negara bagian yang besar atau besar electoral votesnya.
Bahwa pemilihan dilakukan di negara-negara bagian yang memiliki peraturan-peraturan oemilihan yang dibuat oleh legislatif masing-masing negara bagian. Pelanggaran terhadap peraturan pemilihan ini dapad digugat kedepan pengadilan setempat atau diajukan protes ke Dewan Penyelidik Pemerintahan Daerah yang terdiri atas Pengawas, Hakim Pengadilan Daerah, dan Kepala Dewan Komisaris Daerah. Selain itu terdapat pula Komisi Penyelidik Pemilihan yang terdiri atas Gubernur, Sekretaris Negara, Kepala Divisi Pemilihan. Komisi ini bertugas menyelidiki dan menyusun hasil-hasil pemilihan, kandidat pemenang pemilihan dan  bertanggung jawab  atas kelalaian umum sistem pemilihan. Terdapat pula Pengawas Pemilihan (Supervisor) di setiap kabupaten yang bertugas menunjuk Dewan Pemilih yang terdiri atas inspektur dan karyawannya. Dewan ini bertugas menyelenggarakan pemberian suara, penghitungan suaram mengesahkannya kepada Supervisor pada tengah hari sesudah pemilihan[8].
Sedangkan perbandingannya di Indonesia adalah yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu adalah MK ( Mahkamah Konstitusi) sesuai dengan pasal 10 UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Selanjutnya terdapat badan yang mengawasi pemilu. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tingkat pusat, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota., Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.













Kesimpulan
Dalam hal ini saya menyimpulkan bahwa setiap sistem baik di AS maupun di Indonesia terdapat kelemahan dan kelebihan dari sistem yang ditonjolkan tersebut.
Kelebihan sistem pemilu presiden dan legislalatif Indonesia dibanding sistem pemilu presiden dan legislatif AS
1.      Pemilu langsung
2.      Masa pemilihannya tetap (5 tahun maksimal 2 kali periode)
3.      Ada lembaga khusus yang independen bertugas menyelesaikan pemilu (MK)

Kelemahan  sistem pemilu presiden dan legislalatif Indonesia dibanding sistem pemilu presiden dan legislatif AS
1.      Jadwal belum ada penetapan pasti, malah sering molor atau diajukan, di AS sudah terjadwal
2.      Asal open recruitmen untuk pengawas pemilu, di AS langsung mencomot dari Pegawai Negeri yang sudah ada
3.      Masih ada konflik penghitungan ulang suara














Daftar Pustaka

UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UU No. 24 Tahun 2003 Tentang  Mahkamah Konstitusi
UU no 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
Konstitusi AS
Napang, Marthen. 2008.  Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Makassar: Yusticia Press
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara jilid II
Martosoewignjo, Sri Soemantri . 1981. Penantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: CV Rajawali Jakarta

















KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM




TUGAS PERBANDINGAN HTN
Perbandingan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Indonesia dengan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Amerika Serikat


Oleh                                      :  Rahmad Gunarto 08/267392/HK/17817




YOGYAKARTA
2011



[1] Napang, Marthen. 2008.  Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Makassar: Yusticia Press
Hal 33
[2] Www.Yahoo.com, diakses tanggal 05 Mei 2011, pukul 18.00
[3] www.wikisource.com, diakses tanggal 05 Mei 2011, pukul 18.00
[4] Napang, Marthen. 2008.  Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Makassar: Yusticia Press
Hal 53

[5] Napang, Marthen. 2008.  Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Makassar: Yusticia Press
Hal 2 

[6] Napang, Marthen. 2008.  Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Makassar: Yusticia Press
Hal 53

[7] Martosoewignjo, Sri Soemantri . 1981. Penantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: CV Rajawali Jakarta  Hal 77

[8] Napang, Marthen. 2008.  Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Makassar: Yusticia Press
Hal 13