Minggu, 11 Juli 2010

kumpulan peradilan sesat yang pernah terjadi

Terinspirasi dari kick andy, saya mencoba googling peradilan sesat di Indonesia, dan hasilnya ternyata banyak juga. Dari beberapa kasus yang saya tangkap, kesesatan banyakterjadi diantaranya Hakim yang tidak professional hanya mempercayai cerita polisi tanpa mempedulikan keterangan terdakwa dan saksi saksi, kurangnya perhatian Negara dalam penyediaan pengacara untuk terdakwa yang tidak mampu , kekerasan dalam proses penyidikan tersangka, dan masih banyak lg….

Mungkin setelah membaca kasus di bawah, saya jadi percaya ilustrasi yang diterangkan dosen saya. Ilustrasinya begini. Di suatu hutan ada penjahat seekor "kelinci" yang sembunyi di hutan. Ada 3 polisi ingin menangkapnya, yaitu kepolisian jepang, Amerika dan Indonesia. Pertama Jepang beraksi duluan. Jepang mengerahkan 30 ribu personilnya untuk mencari "kelinci" tersebut beserta alat-alat canggihnya, namun apa daya atas kelihaian "kelinci" tersebut jepang gagal menangkapnya. Kedua Amerika mengerahkan agen CIA dan FBI dengan agen agennya yang smart untuk mencangkap "kelinci" tersebut. Dengan tenaga extra masih saja gagal menangkapnya. Kemudian giliran Indonesia mengerahkan pasukannya. Berbeda dengan jepang dan amerika yang mengerahkan agennya yang cerdas, alat alat canggih dan jumlah personil yang banyak, Indonesia hanya mengerahkan 2 polisi saja untuk mencari "kelinci" itu. Alhasil dalam waktu singkat Indonesia sudah berhasil mengangkap seekor "tikus". Semuanya kaget mengapa yang ditangkap seekor tikus. Ternyata mereka tidak mau bersusah payah mencari "kelinci", tinggal cari aja korban lain untuk dijadikan tersangka, tinggal dipukuli disiksa diancam untuk mengakui dirinya sebagai pelaku. hehehehe….

Legenda Sengkon-Karta 1974 Bekasi

    Masih jelas dalam ingatan banyak orang bahwa pada 1974 pernah terjadi kasus yang menimpa Sengkon dan Karta. Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat, di mana masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara atas tuduhan merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa.

    Ternyata, kebenaran dan nasib baik saat itu berpihak pada Sengkon dan Karta serta berbalik menjadi tombak yang `melukai` para penegak hukum yang menjebloskannya ke penjara, setelah pembunuh asli (sebenarnya) Sulaiman-Siti Haya terungkap. Mereka menerima vonis pengadilan negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Putusan itu berkekuatan hukum tetap, sebab Sengkon dan Karta tidak kasasi.

    Sengkon dan Karta menjadi penghuni LP Cipinang dan dalam penjara itu mulai terkuak masalah sebenarnya. Seorang penghuni LP bernama Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel diadili, terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara,

    Kasus Sengkon dan Karta menggemparkan tanah air kala itu. Albert Hasibuan seorang anggota DPR dan pengacara tersentuh hatinya dan mengusahakan pembebasan Sengkon dan Karta

    Sengkon dan Karta mengalami penderitaan luar biasa. Menurut pengakuan, mereka dipukuli aparat. Dan lebih tersiksa lagi sebab Sengkon terserang penyakit TBC di penjara Cipinang. Lebih tragis lagi,Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.

    Sengkon ketika diwawancarai wartawan, mengatakan : bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit TBC terus merongrongnya dan tidak ada biaya untuk meneruskan hidup. Sudah habis terkuras menghadapi kasusnya yang panjang.

    Keluarga Karta dengan seorang isteri dan 12 orang anak kocar kacir. Semua sawah dan tanah mereka sudah dijual habis untuk biaya hidup dan membiayai perkara.Tapi, ada hikmah yang besar dengan kasus Sengkon dan Karta, sebab Mahkamah Agung menghidupkan lembaga Peninjauan Kembali (peninjauan kembali atau PK sebelum peristiwa Sengkon dan Karta tidak dikenal dalam system hukum di Indonesia) terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (berziening), Januari 1981 ketua MA Oemar Seno Adji memerintahkan kedua orang itu dibebaskan.

    Berdasarkan semua itu, kuasa Sengkon, Murtani, merasa layak menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Ia menuntut Departemen Kehakiman c.q. Pengadilan Tinggi Jawa Barat c.q. Pengadilan Negeri Bekasi untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta. Tapi gugatan itu, Juli 1981, ditolak Pengadilan Negeri Bekasi. Alasan ketua Pengadilan Negeri Bekasi, (ketika itu) J. Serang, pengadilannya tidak dapat "mengadili dirinya sendiri". Alamat yang tepat untuk gugatan itu, Serang menganjurkan, adalah Pengadilan NegeriJakarta Pusat.

    Murtani mengulangi gugatan itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, kembali berakhir sia-sia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai Soebandi, menolak gugatan Sengkon-Karta itu. Alasannya, pengadilan tidak berwenang mengadili seorang hakim dalam menjalankan tugasnya. Keputusan itu pun dikuatkan Pengadilan Tinggi, Juli 1983.

    Upaya terakhir yang dilakukan Murtani, naik kasasi, ternyata kandas pula. Kasasi Sengkon-Karta ditolak Mahkamah Agung, karena Murtani terlambat memasukkan permohonan. Menurut hukum acara, permohonan sudah diterima Mahkamah Agung, 25 Oktober, dan Murtani baru menyampaikannya 26 Oktober 1983. "Majelis memang tidak memeriksa lagi materi perkara, karena syarat formal tidak terpenuhi," ujar Olden Bidara.

    Siapa yang salah ? Pengacara Murtani, yang mengaku tidak dibayar untuk mengurus kasus itu, menolak disalahkan. Sebab, katanya, keterlambatan itu disebabkan kesulitan anak Almarhum Karta mengurus "surat keteranan miskin" dari lurah. Padahal, surat itu perlu dilampirkan untuk meminta pembebasan biaya perkara. Tapi, seandamya syarat formal itu pun dipenuhi, menurut Murtani, kemungkinan menang bagi Sengkon dan Karta sangat tipis.


 

Risman Lakoro dan Rostin Mahaji 2002 Gorontalo

    Pada tahun 2002, suami istri tersebut divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tilamuta atas pembunuhan terhadap anak gadisnya, Alta Lakoro. Tetapi, pada Rabu 26 Juni 2007, kebenaran terkuak. Alta yang menjadi korban dalam "pembunuhan palsu" tersebut datang ke kampung halamannya dan menggemparkan warga Desa Modelomo, Kecamatan Tilamuta, Boalemo, yang menyakini Alta telah tewas.

    Mulanya Alta hanya berniat melayat atas meninggalnya anak tirinya di Boalemo. Tetapi, kedatangannya tersebut disambut dengan mata melotot alias kaget dan tak percaya oleh masyarakat setempat karena sebelumnya Alta diyakini telah tewas menjadi korban kekerasan orang tuanya.Warga tak menyangka, kerangka `Alta` yang sebelumnya menjadi awal mula proses penyidikan atas kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada Risman-Rostin tersebut, kini menjadi manusia utuh lagi.

    Meskipun lega karena anaknya masih hidup, namun Risman-Rostin yang sudah terlanjur menjalani masa tahanannya di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo hingga tuntas, menyatakan keberatan atas terenggutnya masa depan dan nama baik keduanya. Risman-Rostin yang sehari-harinya bekerja sebagai petani penggarap tersebut akhirnya angkat bicara soal kronologis penyidikan hingga vonis hakim atas diri mereka pada 2001. Risman mengaku telah memukul anaknya, Alta Lakoro, di bagian kaki agar anak gadisnya tersebut tidak pulang ke rumah larut malam. Pemukulan tersebut berbuntut kaburnya Alta pada hari yang sama dan menghilang tanpa jejak, hingga pada tahun 2002 Risman dan Rostin dipanggil pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sehubungan dengan penemuan kerangka manusia. Anehnya, saat kedua orang tua Alta itu ingin melihat kerangka yang dimaksud, polisi tidak pernah memperkenankannya. Yang lebih menyedihkan, Risman mengungkapkan bahwa keduanya dipaksa untuk mengakui penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap anaknya. Mereka disiksa sampai meninggalkan cacat di tubuh.

    Sejak dari pemeriksaan di tingkat polisi, kemudian berlanjut ke Pengadilan Limboto dengan tuntutan tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga putusan oleh Hakim, keduanya bahkan tidak disediakan penasihat hukum secara cuma-cuma karena tak sanggup membayar. Padahal, ancaman hukuman atas pasal yang dituduhkan pada mereka lebih dari lima tahun penjara. Menurut yang saya ketahui negara wajib menyediakan pengacara bagi terdakwa tidak mampu yang dituntut hukuman penjara lebih dari 5 tahun


 

    Merasa tak sanggup dihimpit penderitaan tersebut, akhirnya Risman-Rostin pasrah dan terpaksa rela atas tuduhan pelanggaran terhadap Pasal 170 dan 351 ayat 3 KUHP. Mereka tidak mau mengakui kesalahan, tetapi karena terus disiksa kemudian mereka terpaksa megaku


 

    Alta sang Anak memberi pengakuan berikut. Saat dipukul orang tuanya dan dikunci dalam kamar pada tahun 2001, Alta mengaku kabur melalui pintu jendela dan menumpang sebuah truk hingga sampai ke Kota Gorontalo.Dalam masa `pelarian` tersebut, ia sempat bekerja menjadi pelayan di sebuah rumah makan, dan telah menikah hingga dua kali dan melahirkan dua anak yang semuanya telah meninggal dunia.Sejak kabur, ia tak pernah lagi mengunjungi dan memberi kabar kepada orang tuanya, dan bahkan sama sekali tidak mengetahui peristiwa tragis yang menimpa Risman-Rostin.Awalnya ia takut bertemu kedua orang tuanya karena merasa bersalah atas kejadian tersebut. Namun, atas dorongan dari keluarga akhirnya ia pun mau melakukan hal itu dan menceritakan kejadian sebenarnya.

    Kasus Risman dan Rostin harus kembali menjalani proses yang panjang dan melelahkan untuk bisa `mengadili` balik para penegak hukum yang menjebloskannya ke Lapas Gorontalo. Salahudin Pakaya, salah seorang anggota tim kuasa hukum Risman-Rostin, mengajukan peninjauan kembali , merehabilitasi nama baik serta melaporkan hal ini ke KOMNAS HAM Terlebih lagi, vonis terhadap Risman-Rostin, dinilai cacat hukum karena hanya memenuhi satu unsur barang bukti, yakni pengakuan terdakwa. seharusnya yang dijadikan dasar pengambilan keputusan minimal ada dua dari lima alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Tapi, dalam kasus ini pengakuan terdakwa menjadi satu-satunya bukti. Itu pun pengakuan yang terpaksa dari terdakwa. Sementara kerangka yang diduga Alta dan dijadikan barang bukti pada tahun 2001, tidak masuk dalam kategori barang bukti karena ternyata tidak melalui proses identifikasi yang legal, yakni visum et repertum.

Kasus budi haryono 2002 Bekasi

    Budi Harjono (lahir tahun 1980) adalah korban salah tangkap, rekayasa, dan manipulasi penyidikan polisi. Ia dipenjara, dianiaya, dan dipaksa oleh penyidik satuan reserse Polsek Pondok Gede dan Polres Metro Bekasi agar mengakui membunuh Ali Harta Winata (ayahnya) serta menganiaya Sri Eni (ibunya). Polisi tetap membuat alur cerita tersendiri, walaupun ibunya yang menjadi korban telah memberikan kesaksian bahwa pelaku pembunuhan dan penganiayaan adalah Marsin, mantan pekerja toko materialnya. Karena sejak kejadian pun menurut Budi, mereka sudah menyebut nama Marsin, tapi penyidik tidak mempercayainya, termasuk ibunya sempat melihat wajah laki-laki yang menganiayaanya.

    Peristiwa pembunuhannya terjadi pada 17 Nopember 2002. Malam itu, sekitar pukul 11 malam semua anggota keluarga Ali Hartawinata ada di rumah. Mendiang Ali tidur di kamar tengah, sementara isterinya menempati kamar lain, disampingnya. Tiga anak mereka, semua sudah tertidur di kamar masing-masing, termasuk si sulung Budi Harjono. Wargapun kaget, ketika paginya, Ali ditemukan tewas di kamar mandi.

Peristiwa Pembunuhan

    Kejadian itu bermula pada 17 Nopember 2002 sekitar pukul 02.00 WIB. Saat itu Marsin bin Keling yang berniat merampok, mendatangi rumah yang sekaligus menjadi toko material milik keluarga Ali Harta Winata. Marsin yang berhasil masuk rumah dengan cara memanjat pohon mangga, terpergok Ali yang sedang di kamar mandi. Karena ketahuan, Marsin kemudian membunuh Ali. Setelah membunuh, Marsin kemudian menuju kamar tidur Ali dan menjumpai Sri Eni, istri Ali. Marsin menjadi kalap dan memukul wajah Sri Eni dengan balok kayu berulang kali hingga Sri roboh bersimbah darah. Saat kejadian, Sri sempat berteriak hingga membangunkan seisi rumah. Pelaku kemudian melarikan diri.

Rekayasa Alur Cerita

    Polisi lalu membawa Budi, Tommy (adiknya Budi), dan Ningsih (pembantunya) ke Polsek Pondok Gede untuk diperiksa sebagai saksi. Budi dan adiknya menuturkan bahwa sebelum ibunya pingsan, ibunya sempat meneriakkan Marsin sebagai pelaku pembunuhan.Posisi Budi yang pada awalnya sebagai saksi tiba-tiba berubah sebagai pelaku. Polisi tidak mau mendengar kesaksian Budi dan beranggapan bahwa Budi adalah pelaku yang sengaja berniat membunuh kedua orangtuanya untuk menguasai harta benda. Budi selama sembilan hari sembilan malam diperiksa dan mengikuti rekayasa polisi. Dia dipukuli dan kedua kakinya diinjak dengan kursi Mereka mengancam, kalau tidak mau mengikuti kemauan polisi, ibunya dilarang dioperasi di rumah sakit. Padahal waktu itu sudah mau Lebaran dan dokter di RSPAD Gatot Subroto memberikan waktu 3 hari untuk melakukan operasi, sebelum terjadi radang otak yang dapat mengakibatkan kematian atau gangguan otak. . Budi akhirnya terpaksa mengakui bahwa dirinya sebagai pelaku untuk menyelamatkan nyawa ibunya.

    Selain itu, Sri Eni dan Ningsih juga dipaksa mendukung skenario penyidikan polisi. Bahkan Sri Eni selama menjalani pemeriksaan sempat dikurung di Polres Bekasi dan dipersulit saat akan mengambil uang untuk biaya operasi. Waktu itu Eni disuruh bilang saya berantem sama suaminya . Kalau tidak bilang begitu, kedua anaknya mau dibunuh. Polisi kemudian menetapkan Budi sebagai tersangka setelah menyodorkan uang Rp 50 ribu kepada Ningsih agar bersedia menjadi saksi yang melihat Budi menyeret jasad Ali ke dalam kamar mandi dan menganiaya ibunya. Budi kemudiaan ditahan di LP Kelas IIA Bulak Kapal.

    Rasa kehilangan ayah dan siksaan fisik ketika menjalani pemeriksaan polisi sempat membuat hilang semangat hidupnya. "Waktu itu saya sudah pasrah dan enggan hidup lagi karena dipaksa mengaku dan mengikuti arahan polisi," katanya. Apalagi ketika Jaksa mengajukan tuntutan 13 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.

Pelaku Pembunuhan Tertangkap

    Proses hukum terus berlanjut. Pada 14 Agustus 2003 Budi divonis bebas murni oleh hakim setelah dipenjara selama enam bulan. Hakim melihat keganjilan dan kurangnya bukti yang dapat membuktikan Budi sebagai pelaku pembunuhan dan penganiayaan seperti yang dituduhkan jaksa.

    Empat tahun kemudian, pada akhir Juli 2006 seorang petugas dari Unit 2 Jatanras Polda Metro Jaya mendatangi Budi dan memberitahukan bahwa Marsin berhasil ditangkap di Cilacap, Jawa Tengah. Marsin mengakui semua perbuatan yang telah dilakukan terhadap keluarga Ali.

Menunggu Keadilan

    Atas kesalahan yang telah dilakukan oleh institusinya, Polda Metro Jaya berjanji untuk menyelidiki dan mengusut semua pelaku yang terlibat dalam manipulasi penyidikan. Namun sampai saat ini, janji tersebut belum terpenuhi. Bahkan Polri belum mengeluarkan permintaan maaf secara resmi. Padahal Budi sudah bertahun-tahun menunggu keadilan atas penderitaan yang sudah ia alami.

Iwan setiawan 2006 Bandung

Terpidana Seumur Hidup Diputus Bebas

Korban peradilan, Iwan Setiawan (44), warga Pasirkaliki Timur, Kota Bandung, yang didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Ny Shi Geko Munetsuna, 31 Juli 2006, dengan hukuman penjara seumur hidup, diputus bebas oleh Mahkamah Agung. Pria yang masuk ke Lapas Sukamiskin dan keluar dengan pakaian yang sama ini mengaku sering pingsan karena memikirkan nasibnya yang harus menanggung beban dipenjara karena dituduh membunuh.

    Ia berencana akan melakukan gugatan balik atas fitnah yang disampaikan para saksi di pengadilan di antaranya suami korban, Eddy Wirawan SH, Albert Wirawan, dan Jufri Iskandar. Selama pemeriksaan di kepolisian, Iwan mengaku dipukul sebanyak dua kali oleh polisi agar mengakui perbuatannya namun ia bertahan tidak mengaku. Polisi menyatakan bukti darah di celananya adalah bekas membunuh padahal darah itu berasal dari noda darah kaki saat memperbaiki sesuatu.

    Ia juga menegaskan saat kejadian tersebut dirinya sedang berada di rumah sakit menunggu bibinya, Enok Rukmini yang sedang sakit. Kuasa Iwan Setiawan, Maria Elska Liliasari, saat pembebasan di Lapas Sukamiskin Bandung, Jumat mengatakan kepulangan Iwan ini berdasarkan petikan putusan nomor 1349K/PID/2008 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung nomor 307/PID/2007/PT.BDG, tanggal 1 November 2007.

    Atas pembebasan ini, kuasa hukumnya akan melakukan gugatan balik kepada para pihak yang telah melakukan fitnah atas kesaksian Eddy Wirawan SH, Albert Wirawan dan Jupri Iskandar di pengadilan dengan menyatakan Iwan adalah salah satu pelaku pembunuhan tersebut. Iwan didakwa telah membunuh mantan majikannya karena dendam setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai Satpam, bersama terpidana lainnya, Suyitno yang juga kakak ipar Iwan dan Satpam rumah korban Ny Shi.

    Pada Senin, 31 Juli 2006, pukul 18.05 Iwan dan Suyitno datang ke rumah korban dan sekitar pukul 22.00 mendekati korban yang sedang berdiri di teras. Keduanya menyeret dan menusukkan pisau ke leher korban dan mengenai celana Iwan. Pengadilan Negeri Bandung memutuskan vonis hukuman penjara seumur hidup dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Bandung dengan hukuman yang sama namun diputus bebas oleh Mahkamah Agung. Singkawang Kalimantan barat april 1995


 

Singkawang


 

     CU Kin Sun alias A Sun menyambut tahun ''Kerbau Api'' ini dengan sukacita. Petani miskin yang sudah lama merintih bersama istrinya, Fu Jan Lie, dan anaknya, Cu Jiu Liong, itu akhirnya luput dari jerat hukum. Mahkamah Agung, lewat putusan majelis yang diketuai H. German Hoediarto, membebaskan ketiganya dari balik tembok penjara. Majelis meyakini ketiga terdakwa itu tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Bun Lie Ngo. Maka setelah meringkuk satu setengah tahun di Lembaga Pemasyarakatan Singkawang, Kalimantan Barat, ketiganya kembali menghirup udara segar, Senin dua pekan lalu.


 

     Bebasnya terdakwa anak-beranak itu tentu bakal merepotkan polisi. Sebab selain polisi harus mencari pelaku sebenarnya, ternyata A Sun juga akan menuntut ganti rugi kepada polisi dan jaksa. Lelaki berusia 44 tahun itu merencanakan menuntut karena kedua aparat hukum itu telah sewenang-wenang sehingga dia menderita lahir dan batin. Mereka kini tak punya apa-apa lagi, dan terpaksa hidup bersafari menumpang di rumah keluarganya.


 

    Upaya jaksa menjerat A Sun dan keluarganya sebagai terdakwa pembunuh Bun Lie Ngo tampaknya memang tak masuk akal. Menurut jaksa di persidangan Pengadilan Negeri Singkawang, ketiganya dituduh secara bersama-sama membunuh korban pada April 1995. Korban dibacok oleh ketiga terdakwa, karena Fu Jan Lie cemburu melihat suaminya berselingkuh dengan korban. Sejak itu Fu Jan Lie dendam. Ia bersama suami dan anaknya kemudian sepakat untuk menghabisi korban.

     Di persidangan, pengacara terdakwa, Jhon Pasulu, menilai dakwaan jaksa cacat hukum. Sebab ketiga terdakwa tak pernah didampingi pengacara selama dalam proses penyidikan. Padahal mereka dituduh melanggar Pasal 338 dan 340 KUHP yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun Menurut yang saya ketahui negara wajib menyediakan pengacara bagi terdakwa tidak mampu yang dituntut hukuman penjara lebih dari 5 tahun Yang juga janggal, 12 saksi yang diajukan ternyata tak satu pun melihat ketiga terdakwa melakukan pembunuhan itu.

     Tapi majelis hakim yang diketuai Ruter Panggabean sependapat dengan dakwaan jaksa. A Sun lantas dihukum 8 tahun penjara, sedangkan istri dan anaknya masing-masing 10 tahun penjara. Hukuman ini belakangan diperkuat pengadilan tinggi, bahkan kemudian mengatrol hukuman A Sun menjadi 10 tahun penjara.

     Di mata Jhon Pasulu, A Sun telah menjadi korban peradilan sesat. Maka dia mengajukan kasasi. Rupanya Mahkamah Agung berdiri di belakang A Sun. Menurut penilaian Mahkamah Agung, pengadilan di bawahnya itu hanya memeriksa perkara berdasarkan pengakuan terdakwa di berita acara pemeriksaan (BAP), tanpa didukung dengan alat bukti yang sah. Padahal BAP tersebut telah dicabut oleh terdakwa di persidangan. Jadi keterangan terdakwa di persidangan dan bukti yang sah itulah yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan. Ternyata, menurut majelis hakim agung, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri cuma mengadili berdasarkan BAP.

     Lebih dari itu, menurut majelis, visum et repertum yang diajukan dalam persidangan belum bisa menyebutkan penyebab kematian korban. Artinya, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri melanggar batas minimal pembuktian sebagaimana dalam KUHAP. Jaksa Syamsuri mengaku kaget dengan putusan bebas murni itu. Boleh jadi ini peringatan bagi hakim yang masih ngotot mendewakan isi BAP.


 

Imam Khambali alias Kemat, David Eko Priyanto serta Maman Sugiyanto alias Sugik JOMBANG

    SIDANG peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana perkara pembunuhan Asrori di Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Senin (20/10), diwarnai isak tangis dan keharuan. Itu terjadi ketika pada sidang PK yang digelar untuk kali ketiga ini dihadirkan terpidana salah tangkap Imam Khambali alias Kemat, (31) warga Desa Kalangsemanding, Kec. Perak, Jombang dan Devid Eko Priyanto, (17), warga Desa Pagerwojo, Kec. Perak).

    Usai dihadirkan di ruang sidang, keluarga Kemat dan Devid berebut memeluk dan mencium kedua terpidana yang divonis masing-masing 17 dan 12 tahun penjara dan sudah menjalani hukuman sekitar setahun ini. Kemat yang dihadirkan lebih dulu pada sidang tahap pertama, begitu masuk langsung disambut pekik Allahu Akbar dari sanak keluarga yang memenuhi ruang sidang. Hanya sekitar 20 menit Kemat dipajang di ruang sidang tanpa diperiksa majelis hakim.

    Kehadiran Kemat atas permintaan tim kuasa hukum terpidana, terdiri dari Slamet Yuono dari OC Kaligis and Associates, Athoillah dari LBH Surabaya, dan HM Dhofir. Begitu sidang usai, saat Kemat dibawa keluar ruang sidang, Ika Lisnawati (keponakan Kemat) nekat menerobos kerumunan dan merangkul Kemat. Kemat sehari-hari memang berperilaku perempuan sehingga dipanggil bibik (sebutan dalam bahasa Jawa untuk tante).

    Begitupun ketika Devid dibawa keluar ruangan sidang pada sidang tahap kedua, ibundanya, Siti Rohana yang duduk di deretan kursi paling depan langsung merangkul dan mencium anaknya.Ayahanda Devid, Agus Sunarko, yang baru lebaran lalu datang dari Maluku, juga merangsek dan merangkul anaknya. Agus Sunarko, sejak sekitar dua tahun lalu memang merantau ke Maluku, dan baru bertemu anaknya setelah lebaran lalu. Dengan mata sembab, Rohana dan Agus Sunarko meminta agar anaknya bisa segera dibebaskan.

    Terkait dirinya yang menyeret nama Maman Sugianto alias Sugik dalam kasus tersebut, Devid mengaku itu dilakukan karena mendapat ancaman dari keluarga Asrori. Jika tidak melibatkan Sugik, keluarganya akan dihabisi. Karena takut, akhirnya Devid nyokot Sugik

    Informasi sumber di Desa Kalangsemanding, setidaknya tiga orang warga desa setempat memang mengintimidasi Kemat dan Devid saat keduanya berada di tahanan dan masih dalam proses persidangan awal tahun 2008. Keempat orang yang mengintimidasi Kemat dan Devid agar menyeret Sugik itu kebetulan adalah tim sukses dari Joko Buwono, calon kepala desa (cakades) setempat yang gagal dalam pilkades Juli tahun lalu. Keempatnya, menurut sumber tadi, adalah Suroto, Subur, Aris, dan Jali.

    Dalam sidang PK, selain menghadirkan Kemat dan Devid, tim kuasa hukum juga kembali melengkapi berkas. Di antaranya bukti baru atau novum guna memperkuat upaya PK mereka. Bukti baru yang kemarin diajukan adalah kliping berita yang berisi ditangkapnya Rudi, Hartono (21) warga Purwoasri, Kediri. Dari situ, kuasa hukum terpidana berargumentasi, tidak ada lagi alasan untuk tetap memenjara Kemat dan Devid.

    Penyerahan novum baru kepada majelis hakim tersebut guna memperkuat PK ini. Sebelumnya, sudah diserahkan berkas berisi surat pernyataan Kemat dan Devid, yang menyebut mereka mengaku sebagai pembunuh Asrori karena siksaan polisi. Kemudian, surat kematian dari Polda Jatim, yang menyebut mayat di kebun tebu adalah jenazah Fausin Suyanto alias Antonius. Juga pernyataan Mabes Polri yang menyebut hasil DNA mayat di kebun tebu adalah Fausin Suyanto, bukan Asrori. Kuasa hukum juga menyertakan berkas pernyataan mabes Polri yang menyebut mayat Asrori, berdasarkan uji DNA, ditemukan di belakang rumah Feri Idham Henyansah alias Ryan (jagal 11 manusia). Ryan mengaku dialah yang membunuh Asrori.

    Dalam sidang kemarin, tim kuasa hukum juga meminta Kemat dan Devid mendapat pengalihan tahanan agar dapat berasimilasi dengam masyarakat, sembari menunggu putusan tentang PK turun dari MA. Menanggapi permohonan pengalihan penahanan itu, hakim ketua majelis, Agung Suradi menyatakan, permohonan bisa diajukan langsung kepada MA.

Lanjar Sriyanto Yogyakarta Yogyakarta

     Kasus yang menimpa Lanjar Sriyanto, warga Dadapan RT 7 RW 12, Kalitirto, Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang kini disidang di Pengadilan Negeri Karanganyar, menambah daftar diskriminasi dalam pengadilan di Indonesia. Sebuah peradilan sesat, kata pengacara Mohamad Taufiq SH MH, pengacara yang baru mendampingi pada sidang ketiga.

    Bagaimana tidak sesat, kalau orang yang sudah kehilangan istri, kini ditahan oleh Kejaksaan Negeri Karanganyar, dan duduk sebagai pesakitan di depan sidang pengadilan. Dia menunggu vonis majelis hakim yang dipimpin Demon Sembiring SH. Peristiwa itu diawali ketika Lanjar berboncengan dengan istrinya, Saptaningsih dan anaknya, melaju ke arah timur di Jl Adisucipto, hari kedua lebaran lalu. Di tengah jalan mereka mengalami kecelakaan, Saptaningsih tewas tertabrak mobil dan tewas di tempat, adapun Lanjar dan anaknya hanya luka ringan.

    Usai prosesi pemakaman istrinya, Lanjar didatangi seorang mengaku bernama Pandi Widodo, seorang anggota Polri beralamatkan di Kedunggalar, Ngawi. Dengan segala kerendahan hati, dia mengajak berdamai dan menghentikan masalah sampai di situ saja. Namun betapa kagetnya ketika dia hendak mengambil surat kendaraan di Polres Karanganyar, dia disodori BAP (berita acara pemeriksaan) yang menyatakan dirinya menjadi tersangka, dengan tuduhan kelalaian yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Karena buta hukum, Lanjarpun kembali menandatangani BAP.

    Atas kasus ini Moh Taufiq SH, pengacara Lanjar berkomentar: Ini betul-betul peradilan sesat. Bagaimana mungkin orang lugu seperti itu, sudah kehilangan istri malah jadi tersangka tunggal. Apa dia yang menyebabkan istrinya meninggal? Apakah betul akibat kelalaiannya?

    Taufiq menyimpulkan penyebab meninggalnya Saptaningsih bukan karena kelalaian suaminya sendiri. Tetapi mobil Panther yang menabrak saat jatuh terpelanting dari kendaraan. Tapi anehnya, sampai saat ini mobil Panther tidak dijadikan barang bukti. Sopirnya hanya jadi saksi. Tapi pemilik mobil itu, Pandi Widodo membuat surat pernyataan damai. Apa maksudnya, apa kaitannya ? Kenapa tidak diperiksa?. Karena itulah agar ditemukan kebenaran materiil, dia minta majelis hakim menghadirkan penyidik dari Polres, termasuk yang membuat peta hasil olah kejadian perkara. Juga Pandi Widodo, dan mobil Panthernya agar dijadikan barang bukti.


 

Sumber :

Antara news

Tempo

Wikipedia

Republika online

Suara merdeka


 

Jumat, 02 Juli 2010

PENOLAKAN TERHADAP SEX EDUCATION

Seperti yang kita ketahui setelah muncul video mesum mirip artis yang tidak perlu saya sebutkan namanya, muncul kecemasan – kecemasan yang timbul di dalam masyarakat tentang efek ke masyarakat terutama untuk orang – orang yang belum perlu melihat video mesum atau mungkin bisa disebut video.porno, yang pasti efek negative tentunya yang kita permasalahkan . Dari video porno tentunya bisa menjurus ke hal – hal yang tidak baik, salah satunya pergaulan bebas, berhubungan sex antar orang yang belum perlu melakukan .

Untuk mencegah efek –efek negative dari video porno dan efek – efek lanjutannya, timbul wacana tentang perlunya pendidikan sex atau sex education di masyarakat. Menurut saya sex education itu perlu untuk orang – orang yang memang dianggap perlu, tapi bagaimana dengan orang yang dianggap belum perlu? Siapa sajakah orang yang dianggap belum perlu?

Banyak wacana sex education di pelajari di sekolah dengan alasan masa – masa remaja itu masa yang paling banyak melakukan pergaulan bebas, tetapi alasan itu menurut saya tidak cocok untuk diterapkannya sex education di masyarakat kita. Tidak perlu diajari untuk membunuh kalau tidak ingin dibunuh, tidak perlu diajari untuk mencuri kalau tidak mau kecurian. Dengan dasar itu saya beranggapan kalau tidak perlu mengajari cara – cara melakukan sex dengan baik, atau bagaimana caranya biar aman melakukan hubungan sex atau sex education lainnya untuk menghindari dari efek dari pergaulan bebas atau efek – efek dari pornografi lainnya. Mungkin dari efek sex education remaja –remaja malah lebih agrasif melakukan hubungan sex walaupun itu melakukan dengan cara yang aman. Hal tersebut tidak sesuai dengan agama yang kita anut maupun dengan budaya timur yang kita lakukan setiap hari. Efek lainnya apabila kita melakukan hubungan sex dini kita cenderung akan lebih memilih untuk berganti – ganti pasangan dan efek panjangnya akan ada rasa bosan ketika kita menikah. Kita pasti tidak akan tahan lama dengan istri kita. Akibatnya mungkin bisa tidak punya anak, berselingkuh , atau bisa saja berakibat perceraian.

Walaupun berhubungan sex dengan remaja tidak bisa dikatakan berzina, karena dalam KUHP yang dimaksud berzina adalah suami istri yang berhubungan badan dengan orang lain, tetapi secara moral, agama dan budaya itu bukan mencerminkan masyarakat Indonesia.

Menurut saya pendidikan sex perlu diterapkan untuk orang yang sudah menikah dengan tujuan karena sudah dihalalkan oleh agama dan untuk lebih memantapkan hubungan suami istri. Dan saya juga berpendapat pendidikan sex tidak cocok diterapkan untuk orang yang belum menikah, karena akan menimbulkan masalah – masalah baru .

Cara positif mungkin

1. melakukan banyak kegiatan yang bersifat positif sehingga kita disibukkan dengan kegiatan – kegiatan itu

2. pendidikan agama dan moral harus diterapkan seumur hidup

3. Jadi anak muda memang harus kreatif dan harus coba – coba. Namun sebelum melakukan itu harus dipikir dulu efek yang akan terjadi